4 Tokoh Perempuan dalam Revolusi Prancis

Artikel

Harrison W. Mark
dengan , diterjemahkan dengan Flora Debora Floris
diterbitkan pada 27 Maret 2023
Artikel Cetak PDF

Revolusi Prancis (1789–1799) bertujuan untuk membongkar penindasan rezim lama dan membangun dunia baru yang didasarkan pada prinsip "Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan". Dorongan untuk perubahan sosial ini mendorong munculnya gerakan feminis yang berkembang di Paris, seiring dengan tampilnya para pemimpin perempuan yang memperjuangkan gerakan revolusioner maupun feminis.

Club of Patriotic French Women in a Church
Klub Perempuan Prancis Patriotik di dalam Gereja
Chérieux (Public Domain)

Sebelum Revolusi Prancis, perempuan dianggap sebagai warga negara 'pasif' yang tidak memiliki kapasitas untuk bertindak secara politik. Keputusan untuk mereka harus diambil oleh laki-laki. Di Prancis, sebagaimana halnya di masyarakat Barat kontemporer lainnya, hal ini menjadi salah satu pembenaran atas subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Sebelum Revolusi Prancis, perempuan nyaris tidak memiliki hak sama sekali dan diharapkan hanya menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang baik. Seperti banyak aspek masyarakat lainnya, peran gender tradisional ini mulai dipertanyakan selama Revolusi Prancis.

Sisihkan pariwara
Advertensi
Perempuan menyuarakan aspirasi mereka melalui pamflet dan turun ke jalan, membentuk klub politik dan milisi yang hanya terdiri dari perempuan.

Perempuan menunjukkan kapasitas politiknya dengan memimpin beberapa peristiwa penting dalam Revolusi Prancis; misalnya, Pawai Perempuan ke Versailles dan pembunuhan Marat oleh Charlotte Corday. Momen atau peristiwa ini menunjukkan agensi perempuan yang menganggap diri mereka sebagai patriot. Mereka menyuarakan pendapat melalui pamflet dan surat kabar, serta membentuk klub politik dan milisi perempuan. Gerakan feminis revolusioner ini terhambat oleh kaum Jakobin pada tahun 1793 dan dibalikkan oleh hukum Kode Napoleon pada tahun 1804, yang menegaskan kembali status perempuan sebagai warga negara kelas dua.

4 perempuan yang dibahas dalam artikel ini masing-masing menjadi tokoh berpengaruh dalam politik. Beberapa secara sengaja memperjuangkan hak-hak perempuan, sementara yang lain melakukannya sebagai dampak dari partisipasi mereka dalam revolusi. Dua tokoh pertama, Germaine de Staël dan Olympe de Gouges, adalah perempuan yang menyampaikan gagasan mereka melalui tulisan, serta menjadi tuan rumah diskusi politik bersama kaum elit dan cendekiawan Paris di salon-salon mereka. Dua tokoh berikutnya, Pauline Léon dan Théroigne de Méricourt, adalah para penggerak yang membentuk klub politik mereka sendiri dan terlibat dalam sejumlah aksi paling penting selama Revolusi Prancis. Kepemimpinan 4 perempuan ini membawa pengaruh dalam Revolusi Prancis dan turut mendorong perjuangan feminis pada salah satu momen paling penting dan penuh gejolak dalam sejarah hak asasi manusia.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Germaine de Staël

Anne Louise Germaine de Staël-Holstein (22 April 1766 – 14 Juli 1817), yang lebih dikenal sebagai Madame de Staël, adalah seorang penulis, ahli teori politik, dan pemilik salon asal Swiss-Prancis yang meraih pengaruh politik selama masa Revolusi. Lahir dengan nama Germaine Necker, ia adalah putri dari Jacques Necker, menteri keuangan kerajaan yang sangat populer, dan Susanne Curchod, seorang pemilik salon. Germaine mendapat pendidikan di salon ibunya, tempat pertama kali ia mengenal karya-karya filsuf Zaman Pencerahan seperti Jean-Jacques Rousseau dan Baron Montesquieu. Pada tahun 1786, Germaine menikah dengan seorang diplomat Swedia, Baron Erik Magnus Staël von Holstein, dan pada tahun yang sama menyelesaikan drama tiga babaknya yang pertama. Pada tahun 1788, de Staël mulai dikenal luas ketika ia menerbitkan sebuah buku tentang Rousseau, yang berjudul Surat-surat tentang Karya dan Karakter J.J. Rousseau. Saat buku tersebut diterbitkan, usianya baru 22 tahun.

Portrait of Madame de Staël
Potret Madame de Staël
Marie-Éléonore Godefroid (Public Domain)

Dengan pecahnya Revolusi pada tahun 1789, de Staël mulai terlibat dalam dunia politik. Meskipun secara hukum ia tidak dapat memegang jabatan politik, ia sering menghadiri sidang Majelis Nasional dan membangun jejaring dengan banyak deputi terpilih. Ia membuka salonnya sendiri di Kedutaan Besar Swedia di Paris, tempat ia menjamu para bangsawan Prancis, pejabat asing, dan tokoh politik berpengaruh. Jamuan makan malam yang diadakannya, baik di salon maupun di rumah pribadinya, kerap dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Marquis de Lafayette, Thomas Paine, Thomas Jefferson, dan Sophie de Condorcet. Acara-acara ini turut membentuk wacana revolusioner publik di Paris. De Staël sangat menikmati menjamu orang-orang dari berbagai spektrum politik dan memenangkan simpati mereka melalui karisma pribadi dan kemampuan debatnya yang cemerlang.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pada fase awal Revolusi, de Staël dianggap sebagai seorang radikal, mendukung penerapan monarki parlementer dengan model seperti di Inggris Raya. Namun seiring berkembangnya Revolusi Prancis ke arah yang semakin radikal, pandangan de Staël terlihat lebih harmonis dengan faksi moderat Girondin. Pada musim panas tahun 1793, kaum Jacobin mengambil alih kekuasaan dan membersihkan pemerintahan dari kaum Girondin. Meskipun awalnya terlindungi dari penangkapan karena status diplomatik suaminya, eskalasi masa Pemerintahan Teror memaksa de Staël melarikan diri ke Coppet, Swiss. Di sana, ia tetap menulis tentang politik Prancis, bahkan sempat membela karakter Ratu Marie Antoinette yang baru saja dieksekusi, dengan berargumen bahwa pencemaran nama baik terhadap sang ratu sebagian besar berkaitan dengan identitasnya sebagai perempuan. De Staël kembali ke Prancis pada tahun 1795 setelah kekuasaan Jacobin berakhir, namun ia kembali diasingkan pada tahun 1804 karena menjadi penentang terhadap kebijakan Napoleon Bonaparte. Ia kemudian melakukan perjalanan keliling Jerman, terlibat dalam gerakan Romantisisme Eropa dan menjalin persahabatan dengan Lord Byron, sebelum kembali ke Paris setelah Restorasi Bourbon pada tahun 1815.

Olympe de Gouges

Salah satu tokoh perempuan Prancis terkemuka dalam dunia sastra adalah Olympe de Gouges (7 Mei 1748 – 3 November 1793), seorang penulis drama dan aktivis. Lahir di Montauban, Prancis barat daya, de Gouges pindah ke Paris pada tahun 1768 dan menerbitkan novel pertamanya pada tahun 1784. Ia memanfaatkan pengakuan yang diperolehnya sebagai penulis untuk membela kepentingan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Salah satu drama terkenalnya yang pertama, L'Esclavage des noirs ("Perbudakan Orang Kulit Hitam"), mendukung gerakan penghapusan perbudakan. Namun, drama tersebut ditutup setelah hanya tiga kali pementasan, karena pemilik perdagangan budak membanjiri surat kabar dengan ulasan buruk dan membayar pengacau untuk mengganggu pertunjukan. Pada tahun 1788, de Gouges menulis esai berjudul Refleksi tentang Orang Kulit Hitam, di mana ia mengaitkan kolonialisme dan perbudakan dengan pemerintahan otokratis dan monarki. Keyakinannya sebagai seorang abolisionis membuatnya menerima berbagai ancaman dan serangan publik, tidak hanya dari para pendukung perbudakan, tetapi juga dari mereka yang percaya bahwa perempuan tidak pantas berada di dunia teater. De Gouges tetap tegar, menulis bahwa ia bertekad untuk meraih keberhasilan meskipun banyak yang menentangnya.

Olympe de Gouges
Olympe de Gouges
Alexander Kucharsky (CC BY-SA)

Pada tahun 1789, para pendukung Revolusi Prancis membentuk Majelis Konstituante Nasional, yang ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru yang berlandaskan pencerahan bagi Prancis. Sebagai pembuka dari konstitusi tersebut, Majelis mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, salah satu dokumen hak asasi manusia paling penting pada masanya. Namun, para feminis seperti de Gouges tidak bisa mengabaikan bahwa deklarasi tersebut menolak hak kewarganegaraan bagi perempuan dan tetap samar dalam hal hak-hak perempuan lainnya. Sebagai bentuk perlawanan, de Gouges mulai menandatangani surat-suratnya dengan sebutan citoyenne (bentuk feminin dari "warga negara").

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pada tahun 1791, de Gouges menulis tanggapan resmi terhadap deklarasi tersebut yang berjudul Deklarasi Hak-Hak Perempuan dan Warga Negara Perempuan. Versi ini mencerminkan isi deklarasi asli poin demi poin, dengan perbedaan utama bahwa hak-hak tersebut kini juga mencakup perempuan. De Gouges menimbulkan kontroversi dengan mendedikasikan teksnya kepada Marie Antoinette, yang ia gambarkan sebagai "perempuan yang paling dibenci", dan dengan menyatakan bahwasebuah revolusi hanya akan mencapai potensi penuhnya ketika perempuan menyadari "keadaan mereka yang menyedihkan". Dalam bagian penutup, de Gouges menulis, “Perempuan, bangkitlah! Lonceng akal sehat berdentang di seluruh alam semesta: akuilah hak-hakmu.” Tulisan de Gouges mengguncang publik dengan nada yang sarkastik dan militannya, serta membuatnya dimusuhi oleh pihak-pihak berpengaruh. Kaum Jacobin membenci semangat satir dalam karya-karyanya dan menganggap dedikasi kepada sang ratu sebagai tindakan anti-republik. De Gouges, seperti de Staël, berpihak pada kaum Girondin dan awalnya mendukung monarki konstitusional. Namun setelah kejatuhan Girondin pada musim panas 1793, ia menyerukan agar rakyat dapat memilih sendiri bentuk pemerintahan mereka. Kaum Jacobin menafsirkan hal ini sebagai upaya de Gouges untuk memulihkan monarki. Ia kemudian ditangkap, diadili dalam pengadilan sandiwara, dan dihukum mati dengan guillotine pada 3 November 1793.

Pauline Léon

Germaine de Staël dan Olympe de Gouges merupakan representasi dari fase awal Revolusi, yang dipandu oleh liberalisme moderat dan dipimpin oleh para intelektual borjuis. Namun seiring berjalannya waktu, gerakan evolusi menjadi semakin ekstrem dan militan, karena kekuasaan lebih banyak jatuh ke tangan kaum revolusioner kelas pekerja yang dikenal sebagai sans-culottes (secara harfiah berarti "tanpa celana sutra"). Kelompok feminis militan, atau fille sans-culottes, juga mulai bermunculan pada masa ini. Salah satunya yang paling menonjol adalah Pauline Léon (28 September 1768 – 5 Oktober 1838). Léon telah mengalami proses radikalisasi sejak usia muda. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, sehingga ia harus mengambil peran untuk membesarkan lima adik kandungnya dan membantu ibunya menjalankan usaha keluarga di bidang pembuatan cokelat. Pengalaman ini mengajarkan Léon pentingnya kemandirian, serta membuka matanya terhadap ketimpangan dalam masyarakat Prancis, khususnya dalam hal ketidaksetaraan peran gender.

Likely Depiction of Pauline Léon
Kemungkinan Penggambaran Pauline Léon
 Émile Wattier  (Public Domain)

Léon menyambut Revolusi Prancis dengan antusias. Ia turut serta dalam Penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789 dan hadir dalam demonstrasi anti-monarki yang ditembaki oleh Garda Nasional dalam Peristiwa Pembantaian Champ de Mars dua tahun kemudian. Léon membenci kaum moderat, khususnya memiliki kebencian yang mendalam terhadap Lafayette. Ia juga sering hadir dalam pertemuan Klub Cordeliers yang radikal. Berbeda dengan de Gouges, Léon bukan seorang feminis semata-mata demi hak-hak perempuan dan tidak secara eksplisit memperjuangkan kesetaraan gender. Ia adalah pendukung setia revolusi dan mempunyai keyakinan bahwa perempuan seharusnya memiliki hak untuk membela tanah air sebagaimana laki-laki. Ia secara terbuka menyuarakan dukungan agar perempuan diberi hak untuk memanggul senjata, bahkan sempat berbicara di hadapan Majelis Nasional untuk mengusulkan pembentukan milisi bersenjata perempuan. Gagasan ini tidak pernah terwujud, namun akan menjadi langkah yang sangat radikal, karena hak untuk memanggul senjata erat kaitannya dengan status kewarganegaraan.

Sisihkan pariwara
Advertensi
Masyarakat Perempuan Revolusioner dan Republikan memperjuangkan kesetaraan gender dan aktif dalam sayap kiri politik yang ekstrem.

Pandangan ekstrem Léon sejalan dengan kaum Jacobin, namun karena Klub Jacobin hanya menerima anggota laki-laki, ia merasa perlu untuk membentuk klub politiknya sendiri. Bersama sahabat dekatnya Claire Lacombe, Léon ikut mendirikan Masyarakat Perempuan Revolusioner dan Republikan. Organisasi ini memperjuangkan kesetaraan gender dalam politik revolusioner dan aktif di sayap kiri politik yang ekstrem. Mereka turut berperan dalam pemberontakan yang menyebabkan kejatuhan kaum Girondin pada 2 Juni 1793 dan mendirikan sebuah obelisk untuk mengenang pemimpin radikal Jean-Paul Marat setelah ia dibunuh pada 13 Juli. Organisasi ini juga menimbulkan kontroversi dengan mengajukan petisi kepada Konvensi Nasional agar semua perempuan diwajibkan mengenakan kokarde tiga warna (tricolor cockade), simbol yang memiliki konotasi maskulin. Konvensi mengesahkan dekrit tersebut pada bulan September, meskipun banyak perempuan yang tetap menolak memakainya.

Setelah kematian Marat, organisasi ini mulai bergerak lebih ke kiri dibandingkan kaum Jacobin, dan menyatakan dukungan terhadap kelompok anti-Robespierrist yang disebut Enragés. Léon menikah dengan pemimpin Enragés, Théophile Leclerc. Karena kelompok Enragés dianggap sebagai rival oleh kaum Jacobin, hal ini menempatkan organisasi Léon dalam posisi yang berseberangan dengan Konvensi Nasional yang didominasi Jacobin. Banyak di antara kaum Jacobin juga beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya terlibat dalam dunia politik. Karena alasan-alasan tersebut, pada 30 Oktober 1793, perempuan secara resmi dilarang membentuk klub atau organisasi politik apa pun. Masyarakat Perempuan Revolusioner dan Republikan pun dibubarkan, dan Léon sempat ditahan, meskipun ia dibebaskan setelah kejatuhan Maximilien Robespierre pada tahun 1794. Setelah dibebaskan, Léon menarik diri dari dunia politik dan menjadi guru, pekerjaan yang ia tekuni hingga wafat pada tahun 1838 dalam usia 70 tahun.

Théroigne de Méricourt

Salah satu tokoh perempuan paling misterius dalam Revolusi Prancis adalah Théroigne de Méricourt (13 Agustus 1762 – 8 Juni 1817), yang kisah nyatanya harus dipilah dari berbagai kebohongan dan rumor yang masih bertahan hingga kini. Ia lahir di kota Marcourt di wilayah yang kini merupakan bagian dari Belgia, dari keluarga petani. Hubungan yang penuh konflik dengan ayah dan ibu tirinya menyebabkan Théroigne meninggalkan kampung halamannya sebelum usia 16 tahun, dan kemudian melakukan perjalanan keliling Eropa sebagai penyanyi dan perempuan penghibur. Ia telah menjalani kehidupan yang penuh liku bahkan sebelum keterlibatannya dalam Revolusi Prancis. Théroigne de Méricourt tiba di Paris pada tahun 1789, tepat menjelang pecahnya Revolusi Prancis.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Théroigne de Méricourt
Théroigne de Méricourt
Auguste Raffet (Public Domain)

Théroigne segera menunjukkan minat yang besar terhadap perkembangan Revolusi Prancis, karena perjalanan dan pengalamannya telah menumbuhkan simpati mendalam terhadap kaum tertindas. Ia sangat tertarik pada sidang-sidang Majelis Nasional dan memutuskan untuk pindah ke Rue de Noailles di Versailles agar tidak melewatkan satu pun pertemuan. Karena keterlibatan perempuan dalam urusan politik umumnya dipandang tidak pantas, Théroigne sering menghadiri pertemuan-pertemuan tersebut dengan mengenakan pakaian berkuda laki-laki dan topi bundar besar. Busana ini kemudian menjadi ciri khasnya. Théroigne adalah sosok yang menawan, menarik, dan vokal, sehingga tidak butuh waktu lama baginya untuk menjalin persahabatan dengan beberapa deputi Majelis dan terlibat langsung dalam politik. Pada Januari 1790, ia ikut mendirikan Masyarakat Sahabat Hukum yang berumur pendek, yang bertujuan meningkatkan keterlibatan daerah-daerah di luar Paris dalam kegiatan revolusioner. Ia berbicara baik di podium Majelis Nasional maupun di Klub Cordeliers, di mana ia menyuarakan gagasan-gagasan radikal dan dengan cepat mendapat pengikut di kalangan sans-culottes Paris.

Popularitas Théroigne yang mendadak, ditambah kebiasaannya berpakaian seperti laki-laki, menjadikannya sasaran empuk bagi surat kabar royalistis. Ia secara dijuluki sebagai "pelacur patriot" dan dituduh memimpin Penyerbuan Bastille serta Pawai Perempuan ke Versailles. Meskipun ia memang ikut dalam pawai ke Versailles, tidak ada bukti bahwa ia memimpin aksi tersebut, dan tidak ada bukti bahwa ia hadir di Bastille. Surat kabar kuning menuduhnya bertarung melawan tentara dan menjajakan diri kepada Majelis Nasional agar “setiap wakil rakyat dapat mengklaim sebagai ayah dari anaknya” (Hamel, hlm. 119).

Women Marching on Versailles
Perempuan Berbaris ke Versailles
Walter Montgomery (Public Domain)

Fitnah yang terus-menerus ini sangat memengaruhi Théroigne, yang akhirnya kembali ke kampung halamannya pada Mei 1790 untuk menjauh dari dunia politi. Dari sana, ia melakukan perjalanan ke Liège, tempat ia ditangkap oleh otoritas Austria yang telah mengetahui keterlibatannya dalam Revolusi Prancis melalui pemberitaan yang dilebih-lebihkan oleh pers royalistis Prancis. Ia dituduh sebagai mata-mata yang dikirim untuk memicu pemberontakan di Belgia, dan ditahan selama berbulan-bulan dengan perlakuan buruk dari para penjaga. Ia akhirnya dibebaskan setelah tidak ditemukan bukti yang memberatkannya, tetapi selama dalam penahanan, ia mengalami gangguan kesehatan serius, termasuk depresi, migrain, dan batuk berdarah.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Ketika kembali ke Paris pada Januari 1792, Théroigne disambut sebagai pahlawan karena penderitaannya di tangan pihak Austria, dan para revolusioner menyebutnya sebagai “Amazon kebebasan”. Ia memberikan pidato di Klub Jacobin, mengenakan pakaian berkuda merah menyala yang telah menjadi ciri khasnya, lengkap dengan topi berbulu, pistol di ikat pinggang, dan pedang di sisi tubuhnya. Théroigne kembali berperan sebagai juru bicara publik dan aktivis, mengampanyekan hak perempuan untuk memanggul senjata dan bahkan mencoba merekrut milisi perempuan. Ia kemungkinan ikut mengoordinasikan kerusuhan pada 10 Agustus 1792 yang berujung pada Penyerbuan Istana Tuileries dan berakhirnya monarki Prancis. Ini merupakan puncak ketenarannya.

Meskipun ia tetap menghadiri pertemuan-pertemuan Klub Jacobin, pandangan politik Théroigne lambat laun lebih condong ke arah Girondin. Ketika ketegangan antara Jacobin dan Girondin memuncak pada awal 1793, sikap moderat Théroigne menjadikannya sasaran serangan kaum Jacobin yang radikal. Pada 15 Mei 1793, saat memberikan pidato pro-Girondin di Jardin des Tuileries, ia diserang oleh sekelompok perempuan pendukung Jacobin. Ia dilucuti pakaiannya dan dipukuli dengan brutal. Kemungkinan besar ia selamat dari kematian hanya karena campur tangan pemimpin Jacobin, Jean-Paul Marat. Tragisnya, Théroigne mengalami cedera kepala parah akibat pemukulan tersebut dan tidak pernah bisa benar-benar pulih. Perilakunya menjadi semakin tidak stabil, hingga akhirnya ia dinyatakan mengalami gangguan jiwa secara resmi pada 20 September 1794. Ia pertama kali dikirim ke rumah sakit jiwa di Faubourg Marceau sebelum dipindahkan ke rumah sakit perempuan La Salpêtrière pada tahun 1807, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat karena sakit pada tahun 1817.

Kesimpulan

Germaine de Staël, Olympe de Gouges, Pauline Léon, dan Théroigne de Méricourt berasal dari latar belakang yang sangat beragam dan memiliki pandangan dunia yang berbeda secara signifikan. De Gouges terutama berjuang demi hak-hak perempuan dan budak, Léon menjadikan feminisme sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama, yaitu keberhasilan Republik Prancis. Namun, dengan menjadi tokoh perempuan yang mempunyai peran signifikan dalam politik, masing-masing dari mereka telah menantang peran gender tradisional.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pertanyaan & Jawaban

Siapa saja perempuan berpengaruh dalam Revolusi Prancis?

Beberapa perempuan berpengaruh selama Revolusi Prancis antara lain penulis Germaine de Staël dan Olympe de Gouges, serta para penggerak seperti Pauline Léon dan Théroigne de Méricourt.

Apa itu Masyarakat Perempuan Revolusioner dan Republikan?

Masyarakat Perempuan Revolusioner dan Republikan adalah organisasi politik yang dipimpin oleh perempuan selama Revolusi Prancis, didirikan bersama oleh Pauline Léon dan Claire Lacombe. Organisasi ini memperjuangkan kesetaraan gender dan bersekutu dengan kelompok kiri radikal. Diresmikan pada 10 Mei 1793, tetapi dibubarkan pada bulan September 1793.

Apa peran perempuan dalam Revolusi Prancis?

Perempuan memainkan peran penting dalam berbagai momen kunci Revolusi Prancis. Mereka berperan besar dalam mengobarkan dan memimpin pemberontakan besar, seperti Pawai Perempuan ke Versailles. Secara individual, beberapa perempuan juga memajukan perjuangan hak-hak perempuan, seperti melalui berbagai karya Olympe de Gouges.

Tentang Penerjemah

Flora Debora Floris
Flora Debora Floris adalah dosen di Prodi Sastra Inggris Universitas Kristen Petra, Indonesia.

Tentang Penulis

Harrison W. Mark
Harrison Mark adalah lulusan SUNY Oswego, tempat ia mempelajari sejarah dan ilmu politik.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Mark, H. W. (2023, Maret 27). 4 Tokoh Perempuan dalam Revolusi Prancis [4 Women of the French Revolution]. (F. D. Floris, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/2-2207/4-tokoh-perempuan-dalam-revolusi-prancis/

Gaya Chicago

Mark, Harrison W.. "4 Tokoh Perempuan dalam Revolusi Prancis." Diterjemahkan oleh Flora Debora Floris. World History Encyclopedia. Terakhir diubah Maret 27, 2023. https://www.worldhistory.org/trans/id/2-2207/4-tokoh-perempuan-dalam-revolusi-prancis/.

Gaya MLA

Mark, Harrison W.. "4 Tokoh Perempuan dalam Revolusi Prancis." Diterjemahkan oleh Flora Debora Floris. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 27 Mar 2023, https://www.worldhistory.org/article/2207/4-women-of-the-french-revolution/. Web. 22 Jun 2025.