Kesusatraan Mesir Kuno

Ikhtisar

Joshua J. Mark
dengan , diterjemahkan dengan Mochamad Nasrul Chotib
diterbitkan pada 14 November 2016
X
translations icon
Tersedia dalam bahasa lain: Bahasa Inggris, Bahasa Spanyol, Bahasa Turki
Stele of Minnakht, Chief of the Scribes (by Clio20, CC BY-SA)
Prasasti Minnakht, Kepala Ahli Taurat
Clio20 (CC BY-SA)

Kesusastraan Mesir kuno terdiri dari bermacam ragam format narasi dan puisi seperti tulisan-ukir pada berbagai makam, tugu (stele), prasasti batu obelisk, dan kuil; cerita mitos, dongeng dan legenda; naskah religi; karya filsafat; rekaman otobiografi; biografi; catatan sejarah; kumpulan puisi; himne; esai pribadi; persuratan; dan dokumen pemerintahan. Meski banyak dari beragam format ini tidak biasanya dimaknai sebagai 'karya sastra', terkhusus bagi kajian Mesir Kuno teks-teks tersebut tetap digolongkan sebagai 'kesusastraan', terutama karya dari jaman Kerajaan Tengah (Middle Kingdom, 2040-1782 SM), mengingat tingginya kandungan nilai kesastraan yang terdapat dalam beragam naskah tersebut.

Berbagai contoh awal dari naskah Mesir Kuno berasal dari Jaman Dinasti Awal (Early Dynastic Period, pada kitaran 6000-3150 SM) dalam bentuk Senarai Persembahan (Offering List) dan catatan otobiografi; catatan ini biasanya dipahat pada makam seseorang bersama dengan Senarai Persembahannya untuk memberi tahu para peziarah apa saja tepatnya jenis dan jumlah sesaji yang secara teratur diperlukan almarhum di dunia arwah. Rutinitas dan ketepatan sesaji ini sangat penting mengingat keyakinan bahwa (arwah) orang mati tetap hidup meski raganya berhenti berfungsi, karenanya masih perlu makan dan minum sekalipun tidak berada dalam wujud fisik. Dari Senarai Persembahan ini muncul Doa Sesajen (Prayer for Offerings) yakni jenis karya sastra standar yang nantinya menggantikan Senarai Persembahan, serta dari catatan otobiografi akan berkembang beragam Teks Dinding-Piramid (Pyramid Texts) yang berisikan cerita kejayaan seorang raja dan keberhasilan perjalanannya menuju akherat (afterlife). Kedua perkembangan kesastraan ini terjadi selama periode Kerajaan Tua (Old Kingdom) pada kitaran 2613-2181 SM.

Sisihkan pariwara
Advertisement

Semua naskah di atas dibuat menggunakan aksara hiroglif (“pahatan suci”) yakni semacam sistem penulisan yang menggabungkan fonogram (simbol yang merepresentasikan bunyi), logogram (simbol yang merepresentasikan kata) dan ideogram (simbol yang merepresentasikan makna atau artian). Dikarenakan pembuatan hiroglif sangat memakan tenaga, bentuk pernaskahan lain berkembang beriringan dan dikenal sebagai hiratik (“tulisan suci”) yang lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah digunakan. Naskah hiratik dibuat dengan mengacu pada catatan hiroglif serta menggunakan prinsip (penulisan) yang sama namun lebih informal dan tidak terlalu ketat. Teks atau pahatan hiroglif sengaja dibentuk dengan ketelitian amat tinggi demi mencapai kesempurnaan estetika melalui pengaturan simbol yang digunakan; sementara naskah hiratik sengaja difungsikan untuk menyampaikan informasi secara lebih cepat dan mudah. Pada sekitar 700 SM, tulisan hiratik banyak digantikan dengan aksara demotik (“naskah populer”) yang terus dipakai hingga kebangkitan agama Kristen di Mesir dan penggunaan aksara Koptik pada sekitar abad ke-4 Masehi.

sebagian besar kesusastraan mesir ditulis dalam aksara hiroglif atau hiratik; hiroglif digunakan pada bangunan monumen dan hiratik pada lembaran papirus serta barang keramik.

Sebagian besar karya kesastraan Mesir ditulis dalam aksara hiroglif atau hiratik; hiroglif banyak ditemukan pada beragam monumen seperti makam, prasasti obelisk, tugu peringatan dan kuil, sementara hiratik banyak dijumpai pada berbagai gulungan (perkamen) papirus dan benda keramik atau barang pecah-belah. Sekalipun aksara hiratik, dan nantinya demotik dan Koptik, menjadi sistem penulisan yang jamak digunakan bagi kaum terpelajar atau cendekia, aksara hiroglif terus digunakan pada bangunan momumental di sepanjang sejarah Mesir sebelum akhirnya terlupakan sama sekali pada awal-awal masa agama Kristen.

Sisihkan pariwara
Advertisement

Meskipun definisi “Kesusastraan Mesir” bisa mencatut bermacam-ragam genre pernaskahan, artikel ini sengaja berfokus pada (format) karya sastra standar seperti dongeng, legenda, mitos dan esai atau catatan personal; karya dalam genre lain disebut jika khusus diperlukan. Sejarah Mesir, juga kesusastraannya, meluas dalam hitungan abad dan dituang dalam volume naskah yang tak lagi bisa dihitung; karenanya sebingkai artikel sungguh tidak purna untuk mencakup keragaman bahasan dalam kesusastraan peradaban ini.

Kesusastraan Jaman Kerajaan Tua

Teks Senarai Persembahan dan catatan otobiografi, sekalipun tidak lazim dianggap “karya sastra”, merupakan contoh awal sistem penulisan Mesir yang berlaku saat itu. Senarai Persembahan menyatakan instruksi sederhana, juga dikenal masyarakat Mesir pada masanya sebagai hetep-di-nesw ("anugrah dari raja"), dan dipahatkan pada makam untuk merinci makanan, minuman serta sesaji lain yang tepat bagi almarhum yang disemayamkan di tempat tersebut. Catatan otobiografi, biasanya disusun setelah seseorang wafat, selalu ditulis menggunakan sudut-pandang orang pertama untuk membangun kesan adalah almarhum sendiri yang sedang bersapa secara langsung. Pakar kajian Mesir Kuno Miriam Lichtheim mencatatkan:

Sisihkan pariwara
Advertisement

Tujuan dasar otobiografi – yaitu potret-diri dalam kata – sebenarnya sama persis dengan potret-diri lain seperti pada patung dan relif: menyimpulkan fitur khas (karateristik) dari sang individu khususnya terkait kebajikan atau keutamaan dirinya di hadapan sang kekal. (4)

Karya obituari permulaan semacam ini nantinya diperkuat dengan pola penulisan tertentu yang saat ini dikenal dengan sebutan Katalog Kebajikan (Catalogue of Virtues). Pola ini berkembang dari “kemampuan baru untuk menangkap (makna) pengalaman hidup yang tak-kasat bentuk (dan menuangkan) ke dalam formulasi tulis-kata yang abadi” (Lichtheim, 5). Katalog Kebajikan, seperti namanya, menekankan berbagai prilaku kebajikan yang telah dilakukan seorang individu selama hidup dan seberapa layak individu tersebut perlu dikenang. Lichtheim mencatatkan pentingnya nilai (Katalog) Kebajikan dikarenakan teks ini “merefleksikan berbagai standar etika dalam masyarakat” dan pada saat bersamaan menjelaskan sepatuh apa si almarhum menjalani standar tersebut (5). Beberapa dari karya otobiografi beserta katalog kebajikannya kadang berisi daftar singkat dan dipahatkan pada pintu-pajang (false door, yakni pahatan dekoratif di dinding yang dibuat mirip dengan bentuk pintu) atau pada rangka (kusen) pintu bagian atas. Beberapa lainnya, seperti Otobiografi Weni (Autobiography of Weni) yang terkenal, dipahat pada lempeng-lempeng (batu) monolitik besar dan sangat rinci. Catatan otobiografi ditulis dalam format prosa sementara Katalog-nya dalam formulasi puisi. Contoh tipikal genre ini bisa dijumpai dalam Pahatan Nefer-Seshem-Ra Alias Sheshi (Inscription of Nefer-Seshem-Ra Called Sheshi) yang berasal dari Dinasti ke-6 dalam masa Kerajaan Tua:

Telah datang aku dari kotaku

Telah menjejak aku dari wilayahku

Telah aku purnakan sang adil pada tuannya

Telah aku genapkan semua cintanya.

Benar aku bercakap, benar pula aku bertindak

Jujur aku melantang, jujur pula aku mengulang

Pada saat yang tepat aku mendulang

Agar di kerumunan aku menjulang.

Aku menimbang dalam antara agar puas semuanya

Aku lindungi sang lemah atas sang kuat darinya

Sejauh kuasa yang aku bisa.

Bagi yang lapar roti kuberi, yang telanjang sandang kubagi

Mereka yang tak berperahu aku labuhkan.

Mereka yang tak berputra aku kuburkan,

Mereka yang tak berkapal aku layarkan.

Aku junjung ayahku, aku puja ibuku,

Anak mereka dalam kasihku

Demikian ujar dia yang berjuluk Sheshi. (Lichtheim, 17)

Karya otobiografi beserta daftar kebajikan semacam ini memicu munculnya Teks Dinding-Piramid pada jaman Dinasti ke-5 dan ke-6 yang dikhususkan bagi anggota kerajaan dan menceritakan kisah kehidupan seorang raja, prilaku kebajikannya dan perjalanannya menuju akhirat. Tersebab tulisan-dinding ini berupaya merekam baik kehidupan duniawi maupun perjalanan kekal sang almarhum menuju ranah para dewa, Teks tersebut juga berfungsi sebagai catatan keagamaan atau kepercayaan yang ada pada masa awal Mesir Kuno. Berbagai mitos penciptaan (semesta) seperti dewa Atum yang berdiri di atas gundukan purba di antara pusaran air-sengkarut seraya menganyam penciptaan (semesta) dari kenihilan merupakan contoh kisah yang berasal dari Teks Dinding-Piramid. Beberapa bagian isi dari Teks juga menyertakan alusi pada cerita dewa Osiris, pembunuhannya oleh Set, saudaranya sendiri, kebangkitan Osiris dari kematian oleh Isis, istri sekaligus saudarinya, serta perhatian yang diberikan Isis pada anak mereka, Horus, di rawa-rawa wilayah Delta (sungai Nil).

Detail from the Sarcophagus of Ankhnesneferibre
Detail dari Sarkofagus Ankhnesneferibre
Guillaume Blanchard (GNU FDL)

Mengikuti jejak perkembangan Teks Dinding-Piramid, bentuk karya sastra lain turut muncul pada masa ini dan dikenal sebagai Petuah Kearifan (Instructions in Wisdom). Karya ini berisikan pepatah atau nasehat pendek tentang cara berkehidupan yang mirip dengan Kitab Amsal (Book of Proverbs) dalam Injil dan, pada banyak kasus, mengantisipasi beragam bentuk nasehat/petuah sebagaimana termaktub dalam kitab Amsal, Pengkhotbah (Ecclesiastes), Mazmur (Psalms) serta beberapa kitab Injili lainnya. Naskah Petuah paling tua bercerita tentang Pangeran Hardjedef dan ditulis pada sekitar masa Dinasti ke-5 serta berisi nasehat seperti:

Sisihkan pariwara
Advertisement

Sucikan dirimu di hadapan kedua matamu

Alih-alih orang lain yang menyucikanmu.

Ketika makmur, segera dirikan rumah-tanggamu,

Peristri wanita subur, agar melahirkan putra bagimu.

Sesungguhnya untuk putramu engkau mendirikan rumah

Ketika kau bangun tempat tinggalmu. (Lichtheim, 58)

Pada karya Petuah Bagi Kagemni (Instruction Addressed to Kagemni) yang muncul lebih belakangan, termaktub nasehat:

Orang mulia akan sejahtera,

Bersantun jadi yang paling sederhana.

Tenda akan terbuka bagi yang tenang,

Bangku yang geming terasa lapang

Jangan berisik!...

Kala kau duduk dalam kalangan,

Batasi makan kegemaran;

Karena menahan (diri) hanyalah sejenak

Namun rakus sungguh nista dan tercela.

Cukuplah segelas air hilangkan dahaga,

Cukuplah sejumput rempah kuatkan jiwa. (Lichtheim, 59-60)

Beberapa dari karya di atas – semuanya ditulis menyerupai model Kesusastraan Naru Mesopotamia – seringnya dianggap telah dikarang oleh, atau jelas-jelas bercerita tentang, satu figur terkenal. Sosok Pangeran Hardjedef sendiri tidak menulis naskah Petuahnya, demikian juga Petuah Kagemni tidak benar-benar ditujukan pada Kagemni yang sebenarnya. Laiknya dalam Kesusatraan Naru, tokoh yang terkenal sengaja dipilih untuk lebih memberi bobot pada isi karya agar lebih gampang atau luas diterima pembacanya. Ragam sastra Kearifan, Teks Dinding-Piramid dan pahatan otobiografi berkembang secara signifikan pada jaman Kerajaan Tua dan menjadi landasan bagi kesastraan masa Kerajaan Tengah (Middle Kingdom).

Kesustraan Jaman Kerajaan Tengah

Masa Kerajaan Tengah dianggap sebagai era klasik dalam kesusastraan Mesir Kuno. Pada masa inilah seni tulis yang dikenal sebagai Mesir Pertengahan diciptakan dan dianggap sebagai format hiroglif terbaik serta yang paling sering dipajang sebagai monumen dan atau artefak lain di berbagai museum pada masa kini. Pakar Mesir Kuno, Rosalie David, memberikan komentar atas periode ini:

Kesusastraan pada masa ini merefleksikan adanya peningkatan kedalaman dan kedewasaan yang diperoleh negara ini sebagai hasi dari berbagai perang sipil dan pergolakan yang terjadi selama Periode Pertengahan Pertama (First Intermediate Period). Berbagai genre sastra baru berkembang termasuk yang dikenal dengan sebutan Sastra Pesimis (Pessimistic Literature) dan kemungkinan merupakan representasi terbaik atas analisis-diri dan kebimbangan yang sedang dialami masyarakat Mesir saat itu. (209)

Sastra Pesimis seperti yang disebut David merupakan sebagian dari karya terbaik periode Kerajaan Tengah mengingat karya tersebut tidak hanya mengekspresikan kedalaman pemahaman atas kompleksitas kehidupan, namun juga mengekspresikannya melalui bentuk prosa tinggi. Beberapa contoh karya paling terkenal dalam genre ini (kadang juga dinamakan Sastra Didaktik karena mengajarkan pelajaran) seperti Cekcok Seorang Manusia dan Ba (Roh-)nya [The Dispute Between a Man and his Ba (soul)], Si Tani yang Lincir (The Eloquent Peasant), Satir Niaga (The Satire of the Trades), Petuah Raja Amenemhet I pada Putranya Senusret I (The Instruction of King Amenemhet I for his Son Senusret I), Nubuat Neferti (the Prophecies of Neferti), dan Keluh-kesah Ipuwer (the Admonitions of Ipuwer).

Sisihkan pariwara
Advertisement

Egyptian Scribe's Palette
Palet Penulis Mesir
Mark Cartwright (CC BY-NC-SA)

Karya Cekcok Seorang Manusia dan Ba-nya dianggap sebagai naskah sastra paling tua di dunia yang berbicara tentang tema bunuh diri. Karya ini berisikan dialog antar seorang narator-cerita dan jiwanya terkait kesulitan hidup dan bagaimana seseorang menjalaninya secara patut. Dalam beberapa bagian teks yang mengingatkan pada kitab Pengkhotbah atau Ratapan (Lamentations) dari Injil, sang jiwa berupaya menyemangati si individu dengan nasehat tentang berbagai kebaikan dalam kehidupan, kebajikan yang dianugrahkan para dewa, dan bagaimana dia sepatutnya menikmati kehidupan mengingat ajal segera menjemput. Namun pakar Mesir Kuno, W.K. Simpson, lebih menerjemahkan naskah ini sebagai Orang yang Penat atas Kehidupan (The Man Who Was Weary of Life) dan tidak sepaham dengan pemaknaan bahwa karya tersebut berkaitan dengan tema bunuh diri. Simpson berargumen:

Karya dari masa Kerajaan Tengah ini, seperti terabadikan dalam Papirus Berlin 3024, seringkali diterjemahkan sebagai perdebatan antara seorang individu dengan Ba atau rohnya terkait tema bunuh diri. Namun saya menawarkan interpretasi bahwa karya tersebut berisikan tema yang berbeda. Apa yang disajikan oleh teks bukanlah sebuah perdebatan, melainkan gambaran psikologis dari seseorang yang terdepresi akibat kejahatan dalam kehidupan sampai pada taraf [dia] tidak mampu lagi berterima dengan atau merasakan [nilai] kebaikan alami atas keberadaan [dirinya]. Jati-dirinya (inner self) tidak atau sepertinya tidak mampu bersatu dan berdamai [dengannya]. (178)

Kedalaman tema seperti pada percakapan antara sang individu dengan rohnya, termasuk cakupan pengalaman hidup yang dibicarakan, juga tampak pada berbagai karya lain yang telah disebut sebelumnya. Dalam Si Tani yang Lincir dikisahkan si miskin yang cakap-wicara telah dirampok oleh tuan tanah kaya dan membawa kasus tersebut ke hadapan walikota. Namun sang walikota menjadi sangat terkesan dengan kemampuan berwicara si petani, sampai-sampai dia terus menolak memberi keadilan hanya karena ingin mendengar si petani terus berbicara. Meski pada akhirnya si petani berhasil memenangi kasus tersebut, karya ini menggambarkan kesewenang-wenangan tentang perlunya menghibur atau menyenangkan pihak penguasa terlebih dahulu demi mendapatkan hal yang sudah sepatutnya mereka berikan secara cuma-cuma.

satir niaga menyajikan kisah orang tua menasehati putranya untuk menjadi juru tulis tersebab hidup bisa menjadi sangat berat dan bentuk kehidupan paling enak adalah orang bisa duduk seharian tanpa melakukan apapun kecuali menulis/mencatat.

Karya Satir Niaga menyajikan kisah orang tua yang memberi nasehat pada putranya untuk menjadi juru tulis/juru catat karena hidup bisa menjadi sangat susah karena itu bentuk kehidupan paling enak adalah orang bisa duduk seharian tanpa melakukan apapun kecuali menulis dan mencatat. Semua bentuk niaga atau usaha lain yang bisa dijalankan digambarkan sebagai kerja keras dan derita tak berujung dalam hidup yang juga terlalu singkat dan terlalu berharga untuk disia-siakan demi usaha atau niaga lain tersebut.

Motif cerita seorang ayah yang menasehati putranya tentang arah atau jalan kehidupan terbaik semacam ini juga digunakan dalam berbagai karya lain. Petuah Raja Amenemhet, misalnya, mengisahkan arwah raja yang dibunuh memberikan peringatan pada si anak agar tidak mudah percaya sekalipun pada orang terdekat karena manusia tidak bisa dinilai dari luarnya; tersebab itu tindakan terbaik hanyalah percaya pada nasehat/naluri sendiri sembari tetap waspada terhadap orang lain. Arwah Amenemhat juga berkisah bagaimana dia dibunuh oleh orang-orang kepercayaannya akibat kesalahan fatal karena meyakini para dewa bakal menganugrahi hidup penuh berkah melalui orang-orang terdekat disekelilingnya. Dalam Hamlet buah karya Shakespeare, [tokoh] Polonius berwejang pada anaknya, “Karib yang kau punya, dan t'lah lama kau pungut/ Dengan simpai baja kau ikat jiwa mereka/ Tapi percuma kau kalis tangan demi menghibur yang baru tetas” (I.iii.62-65). Pada wejangan ini Polonius jelas menasehati anaknya agar hanya mempercayai mereka yang telah terbukti setia dan bukan yang baru dikenal. Namun arwah Amenemhat I jelas menyebut wejangan seperti ini sebagai kesalahan mutlak:

Jangan percaya sekalipun saudara,

Jangan akui satupun teman sebaya,

Jangan angkat bagimu sobat terdekat,

Sungguh dari mereka tiada manfaat.

Kala berbaring di malam hari, gunakan naluri sebagai mata,

Karena tak ada kawan membela pada hari penuh derita. (Simpson, 168)

Raja Amenemhat I yang sebenarnya (hidup sekitar 1991-1962 SM) merupakan raja agung pertama dari masa Dinasti ke-12 dan, pada kenyataannya, memang dibunuh oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Karya Petuah yang menyandang namanya ditulis belakangan tanpa diketahui nama pengarangnya, dan bisa jadi merupakan permintaan Senusret I (hidup sekitar 1971-1926 SM) sebagai upaya memuliakan nama ayahnya sekaligus mencemarkan para dalang pembunuhan tersebut. Raja Amenemhat I juga nantinya dipuji-puji dalam karya Nubuat Neferti yang meramalkan kedatangan seorang raja (Amenemhat I) sekaligus sebagai juru selamat bagi masyarakat, menyelesaikan semua masalah negara dan menegakkan era gemilang. Karya Nubuat ditulis pasca Amenemhat I mangkat namun dikisahkan sebagai ramalan nyata yang muncul mendahului masa pemerintahannya.

Motif “ramalan semu” semacam ini – terawangan yang dibuat atau direkam pasca kejadian yang diramal – juga merupakan elemen lain yang ditemukan dalam kesusastraan Naru Mesopotamia yakni ketika beberapa “fakta” sejarah dimaknai ulang untuk disesuaikan dengan tujuan si pengarang. Pada kasus karya Nubuat Neferti, fokus teks adalah menyatakan betapa mahadiraja seorang Amenemhat I karena itu terawangan atas tahtanya dibuat jauh mendahului masanya sebagai isyarat sang Raja adalah pilihan para dewa yang bakal memenuhi takdir dan menyelamatkan negaranya. Karya ini juga mengikuti motif yang lazim digunakan dalam kesusastraan masa Kerajaan Tengah, yakni sengaja membuat kontras antara kemakmuran pada masa Amenemhat I bertahta, atau “jaman keemasan”, berbanding dengan kekacauan dan kerusuhan pada masa sebelumnya.

Teks Keluh-kesah Ipuwer menyajikan tema masa keemasan seperti di atas dengan lebih lengkap. Sempat dianggap sebagai laporan atau rekaman sejarah, karya ini akhirnya lebih disepakati (para pakar) sebagai naskah sastra bertema rampak lawan sengkarut (order vs. chaos) dalam genre didaktik dan berisikan kecabaran serta kekalutan pada masa karya ditulis dibandingkan masa pendahulu yang penuh kebaikan dan keberuntungan hidup. Keluh-kesah Ipuwer juga sering dikutip atau diacu oleh sebagian orang yang ingin menyejajarkan kisah-kisah Injili dengan sejarah Mesir kuno sebagai bukti adanya Sepuluh Wabah seperti termaktub dalam kitab Keluaran (Book of Exodus), namun tidak ditemukan bukti kesejajaran seperti dimaksud.

Nihilnya bukti yang dimaksud berada dalam pengertian bukan hanya teks Keluh-kesah tidak – dalam hal apapun – menyatakan kaitan terhadap kisah wabah dalam Injil, karya tersebut juga jelas-jelas serupa dengan berbagai karya sastra lain yang telah diproduksi oleh banyak budaya atau peradaban dari awal sejarah hingga masa kini. Karenanya, sangat tidak berlebihan jika dikatakan ada seseorang yang pada satu atau beberapa waktu dalam hidupnya bakal menengok ke masa lalu dan menyadari beberapa hal terlihat lebih baik dibandingkan kondisi sekarang. Karya Keluh-kesah Ipuwer, gampangnya, sekedar merekam pengalaman tersebut dan sekalipun (yang merekam) bisa jadi lebih fasih dibanding kebanyakan karya lain, tetap saja karya ini tidak pernah bisa dimaknai sebagai catatan kesejarahan yang aktual.

Ipuwer Papyrus
Papirus Ipuwer
Rijksmuseum van Oudheden, Leiden (CC BY)

Di samping karya prosa seperti disebut sebelumnya, Kerajaan Tengah juga menghasilkan karya puisi seperti Tembang Sang Pemain Harpa (The Lay of the Harper) atau kadang juga dikenal dengan judul Kidung si Pemain Harpa (The Songs of the Harper). Isi puisi banyak mempertanyakan eksistensi surgawi yang ideal dan pengampunan para dewa, serta pada saat bersamaan, menciptakan himne atau lagu pujian bagi para dewa dan notabene membenarkan keberadaan surgawi tersebut. Teks prosa-naratif paling terkenal sepanjang sejarah Mesir – Riwayat Pelaut Sanggat (The Tale of the Shipwrecked Sailor) and Kisah Sinuhe (The Story of Sinuhe), keduanya juga datang dari masa Kerajaan Tengah. Riwayat Pelaut Sanggat meninggikan Mesir sebagai tempat paling baik di seluruh dunia yang dikenal saat itu melalui cerita seorang kelasi yang terdampar di sebuah pulau. Meski telah ditawari berbagai ragam kekayaan dan kesenangan, si pelaut tetap menolak karena satu-satunya hal yang paling diinginkan hanyalah kembali ke Mesir. Cerita tentang Sinuhe juga merefleksikan keseragaman ide-tema yakni sang tokoh (Sinuhe) yang terpaksa melarikan diri setelah pembunuhan Raja Amenemhat I dan terus merindukan Mesir sebagai kampung halaman di sepanjang pengasingannya.

Kompleksitas yang dialami Mesir selama Periode Pertengahan Pertama (2181-2040 SM) direfleksikan pada beragam karya sastra yang mengikuti pada Periode Tengah (Middle Period). Berlawanan dengan klaim atau anggapan yang masih bisa dijumpai dalam beberapa buku sejarah tentang Mesir, Periode Pertengahan Pertama tidak menyatakan masa sengkarut, kegelapan, ataupun kekelaman universal; melainkan sekedar era tanpa adanya pemerintahan pusat yang kuat. Situasi ini balik menelurkan demokratisasi seni dan budaya yang membisakan wilayah individu mengembangkan ciri khas masing-masing dan dinilai sama tingginya dengan seni kerajaan yang pernah ada di masa Kerajaan Tua.

Para penulis di masa Kerajaan Tengah, karena itu, menengok kembali ke Periode Pertengahan Pertama dan menemukan titik tinggal landas yang jelas guna melepas diri dari kegemilangan Kerajaan Tua. Berbagai karya, seperti Keluh-kesah Ipuwer, dimaknai banyak pakar Mesir kuno sebagai rekaman akurat atas masa kekalutan dan kekacauan yang mendahului Kerajaan Tengah; namun pada kenyataannya, jika bukan dikarenakan kebebasan bereksplorasi dan berekspresi dalam berkarya yang sangat didorong selama Periode Pertengahan Pertama, tidak mungkin para penulis tersebut bakal bisa menciptakan berbagai teks seperti diketahui saat ini.

Teks otobiografi anggota kerajaan beserta Seranai Persembahan pada masa Kerajaan Tua yang dulu hanya bisa diakses kalangan kerajaan dan bangsawan menjadi bisa dimanfaatkan oleh siapapun, darah-biru atau bukan, selama dia mampu membangun makam pada Periode Pertengahan Pertama. Hal serupa juga bisa dikatakan tentang karya sastra Kerajaan Tengah yang bisa dengan amat mudah berkisah tentang pujian terhadap raja, seperti Amenemhat I, atau dengan sama luwesnya bertutur tentang perasaan dan pemikiran orang awam seperti pelaut kebanyakan atau narator-tak-bernama yang berdebat dengan jiwanya. Kesustraan Kerajaan Tengah, karenanya, telah membuka lebar beragam bentuk ekspresi dengan cara meluaskan tema atau topik yang bisa dan boleh ditulis. Kondisi ini juga tidak dimungkinkan bisa terjadi tanpa Periode Pertengahan Pertama.

Tale of Sinuhe (Berlin 10499)
Kisah Sinuhe (Berlin 10499)
L. Baylis (Copyright)

Setelah Dinasti ke-12, yakni saat sebagian besar maha-karya kesusastraan Mesir diciptakan, era Dinasti ke-13 yang lebih lemah berkuasa. Pada masa ini, Kerajaan Tengah balik merosot jauh dalam berbagai aspek hingga memungkinkan kekuatan asing (bangsa Hiksos atau Hyksos) menguasai wilayah Mesir bagian bawah. Karenanya, sama persis dengan Periode Pertengahan Pertama, masa bertahtanya bangsa Hiksos bakal dicap buruk atau dicemarkan para pengarang Mesir terkemudian dengan kembali menulis tema tentang masa sengkarut dan kegelapan. Terlepas dari kenyataan bahwa masa pemerintahan Hiksos juga nantinya memberikan kontribusi penting pada peradaban Mesir, bentuk kontribusi ini bakal banyak dilalaikan dalam kesusastraan Kerajaan Baru setelahnya.

Kesusastraan Jaman Kerajaan Baru

Di antara masa Kerajaan Tengah dan jaman yang dinamai Kerajaan Baru terdapat sebuah era yang dirujuk para pakar sebagai Periode Pertengahan Kedua (Second Intermediate Period, sekitar 1782 sampai sekitar 1570 SM). Pada periode ini, sentra kekuasaan di Mesir terpecah menjadi beberapa bagian yaitu raja-raja asing dari bangsa Hiksos yang menguasai wilayah Mesir Bawah, raja-raja Mesir dari Thebes di wilayah Mesir Atas, serta kontrol bangsa Nubian atas beberapa wilayah di bagian selatan Mesir Atas. Pada akhirnya, Mesir bisa disatukan oleh Raja Ahmose dari Thebes (hidup sekitar 1570-1544 SM) dengan mendesak balik bangsa Hiksos dan Nubian ke luar perbatasan, sekaligus menyatakan awal tegaknya jaman Kerajaan Baru.

Para firaun di awal masa Kerajaan Baru lebih banyak memusatkan perhatian mereka pada pencegahan beragam bentuk serangan seperti yang dilancarkan bangsa Hiksos. Karena itu mereka banyak terlibat dalam berbagai rangkaian kampanye militer untuk meluaskan atau membersihkan tapal-batas Mesir. Kondisi ini juga yang nantinya membawa Mesir memasuki 'Jaman Kekaisaran' (Age of Empire) dan, tak pelak, direfleksikan dalam berbagai cakupan isi karya seni dan sastra yang sangat luas. Pahatan monumental tentang para dewa dan dukungan keilahian mereka yang berkelanjutan kepada para firaun menjadi sarana ekspresi superioritas Mesir atas negara tetangganya. Beragam narasi dan puisi juga merefleksikan pengetahuan yang lebih dalam tentang (kondisi) dunia yang berada di luar perbatasan Mesir. Dan tentunya, tema lawas tentang rampak lawan sengkarut kembali digunakan dalam makna baru sebagai representasi pergulatan ilahiah (divine struggle). Keluasan lingkup tema ini juga ditekankan melalui perspektif pesimis dan kompleks seperti pada masa Kerajaan Tengah. Karena itu, proses kreatif yang melatarbelakangi karya seni atau sastra Kerajaan Baru dan kaitannya dengan bangsa Hiksos pada Periode Pertengahan Kedua sebenarnya sama saja dengan proses yang terjadi pada karya sastra Kerajaan Tengah pada Periode Pertengahan Pertama: [realita] yang ada hanya membuat karya sastranya menjadi lebih kaya dan kompleks akan alur, gaya dan penokohan. Rosalie David mencatatkan:

Kesusastraan Kerajaan Baru yang berkembang saat Mesir telah memasuki masa kekaisaran banyak mencitrakan pendekatan yang lebih kosmopolitan. Hal ini tampak dalam banyak teks yang berupaya mempromosikan Amun-Ra yakni dewa negara yang agung sebagai pencipta universal, serta dalam banyak tulisan-pahat pada dinding kuil atau tempat lain yang mengisahkan berbagai kemenangan militer sang raja di (wilayah) Nubia dan Siria. (210)

Akan tetapi, [pendapat] di atas hanya tepat terkait pahatan monumental dan himne. Secara alamiah, teks pahatan (pada dinding kuil) memang bersifat religius dan berfokus pada para dewa, biasanya antara Amun atau pasangan Osiris dan Isis sebagai sosok dewa yang dipuja dua sekte keagamaan paling populer kala itu. Namun sebagian besar teks naratif dan puisi tetap lanjut membahas beragam topik yang dihadapi para awam sehari-hari seperti prilaku semena-mena, pasangan yang tidak setia, atau cara menikmati hidup sebelum ajal menjelang. Keragaman tema ini sebenarnya juga telah disentuh atau diulas tuntas dalam karya Kerajaan Tengah; bedanya teks Kerajaan Baru juga menunjukkan tema baru terkait kesadaran atas budaya dan atau nilai asing di luar paradigma bangsa Mesir.

The Seated Scribe
Juru tulis yang duduk
Mindy McAdams (CC BY-NC-ND)

Pada masa ini, kesusastraan Kerajaan Tengah dianggap sebagai karya “klasik” dan dipelajari mereka yang ingin menjadi penulis/pengarang. Satu aspek menarik dari kesusastraan Kerajaan Baru adalah penekanan pada pentingnya tradisi kepengarangan. Para penulis atau pengarang sudah sejak lama dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan Mesir sehari-hari dan popularitas karya Satir Niaga membuktikan betapa jelasnya pembaca pada masa Kerajaan Tengah memahami hal tersebut. Namun seperti termaktub dalam (perkamen) Papyrus Lansing dan Papyrus Chester Beatty IV yang masih bertahan hingga kini, pada masa Kerajaan Baru para penulis bukan melulu dianggap sebagai profesi terhormat, melainkan juga mereka yang memiliki kedudukan pantar-tuhan (god-like), khususnya terkait kemampuan mereka dalam menyampaikan konsep melalui kata, mencipta yang ada dari ketiadaan, dan karenanya meraih kondisi kekal melalui karya-karya mereka. Lichtheim memberikan komentar terkait Papyrus Chester Beatty IV:

[Perkamen] Papyrus Chester Beatty IV merupakan bunga-rampai kepengarangan (scribal miscellany) yang khas. Sisi depannya (recto) berisi himne keagamaan; sisi belakangnya (verso) terdiri dari beberapa teks pendek terkait profesi kepengarangan. Dari teks-teks ini, ada satu bagian yang menyatakan tema berbeda yakni berisi penghargaan terhadap profesi penulis namun melampaui format klise [pada masanya], sekaligus mengedepankan pendapat luar biasa bahwa satu-satunya cara manusia menjadi kekal adalah ketenaran nama melalui karyanya. Manusia bakal menjadi debu, namun tulis-kata bertahan selamanya. (New Kingdom, 167)

Konsep kesakralan alami dalam aksara sebenarnya telah lama dikenal bangsa Mesir. Aksara atau kata tertulis diyakini merupakan anugrah langsung dari Thoth, sang dewa kearifan dan pengetahuan dan pemujaan pada dewa ini bahkan bisa dirunut ke belakang hingga Periode Pra-Dinasti (sekitar 6000- sekitar 3150 SM) ketika masyarakat Mesir menemukan aksara tulis untuk pertama kalinya. Thoth juga dimunculkan bersama seorang pendamping, Seshat, yang kadang disandingkan sebagai istri, kadang sebagai anak perempuannya. Seshat sendiri adalah dewi dari segala format penulisan yang berbeda, bunda pelindung bagi pustakawan dan perpustakaan, serta mengetahui segala yang ditulis atau tertulis di muka bumi dan memiliki salinan dari tiap karya penulis yang disimpan dalam perpustakaan para dewa di langit.

Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, Seshat (“penulis wanita”) juga mengawasi penghitungan (accounting), pengkatalogan (record-keeping), pendataan (census-taking) serta pengukuran dalam pendirian bangunan atau monumen sakral. Dewi ini sering 'dipanggil' atau dilibatkan langsung dalam upacara “mengulur tambang” (“the stretching of the cord”) yaitu ketika sang raja sendiri yang turun tangan untuk mengukur tanah tempat kuil akan didirikan. Dalam kapasitas ini, Seshat juga dikenal sebagai Inang para Tukang (Mistress of Builders) yang mengukur tanah dan meletakkan pondasi kuil. Pakar Mesir kuno, Richard H. Wilkinson, mencatatkan, “dia (Seshat) sepertinya tidak memiliki satupun kuil [pemujaan] khusus, namun berdasar esensi perannya dalam upacara [peletakan] pondasi, Seshat menjadi bagian atau menyatu dengan setiap kuil yang dibangun” (167). Juga perlu disebut bahwa terkait keberadaan kompleks kuil, peran dewi ini tidak hanya terbatas pada proses inisiasi (pembangunan kuil) karena Seshat akan terus menetap dalam bagian kuil yang biasa disebut Wisma Kehidupan (House of Life). Rosalie David menjelaskan fungsi bagian ini sebagai berikut:

Sepertinya, Wisma Kehidupan menyatakan bagian atau area kuil yang difungsikan sebagai perpustakaan, ruang rekam-tulis (scriptorium) dan prasarana pendidikan tinggi yakni tempat naskah suci diciptakan atau disimpan serta pembelajaran dilaksanakan. Kitab-kitab tentang medis, magis dan juga religi kemungkinan juga disusun dan disalin di bagian kuil ini. Terkadang prasarana ini bisa dibangun menyatu sebagai salah satu bagian interior dari kuil, atau di tempat lain bisa juga dibangun terpisah atau sebagai konstruksi tersendiri dalam kompleks kuil. Hanya sedikit yang diketahui tentang [proses] administrasi atau pengorganisasiannya, namun sangat mungkin dikatakan bahwa setiap kota yang cukup besar memiliki satu [Wisma]. Konstruksi [wisma] seperti ini diketahui terdapat pada situs Tell el-Amarna, kota Edfu, dan kota Abidos. (203)

Istilah yang digunakan untuk memberi nama prasarana atau institusi tersebut dengan sendirinya sudah mencerminkan panut-nilai yang diyakini masyarakat Mesir tentang aksara tulis. Wisma Kehidupan, yakni prasarana multi-guna yang menggabungkan fungsi kampus, perpustakaan, lembaga penerbit, lembaga penyalur (distributor), dan pusat kerja atau pelatihan (workshop) para penulis, berada langsung di bawah pengawasan Seshat yang memastikan apapun yang dituliskan dalam Wisma ini memiliki salinan di perpustakaan langit miliknya sendiri.

Di sepanjang masa Kerajaan Baru, karya-karya yang diciptakan biasanya berwujud himne, kumpulan doa, petuah atau nasehat bijak, kidung pujian, puisi cinta dan dongeng atau cerita. Menariknya, banyak aspek dalam genre puisi cinta bangsa Mesir pada masa ini tampak serupa dengan Kidung Agung atau Kidung Salomo (Song of Solomon) dari Injil, termasuk ragam komposisi lain yang datang jauh sesudahnya yaitu karya para pengamen-syair (troubadors) Perancis di abad ke-12 manakala mereka menggambarkan sosok kekasih tiada banding yang pantas mendapat segenap perhatian dan segala pengorbanan. Kemiripan dari ungkapan perasaan (sentiments) atau bahkan pencitraan (imagery) yang digunakan dalam puisi cinta Kerajaan Baru juga lazim termaktub dalam berbagai lirik lagu populer masa kini.

Tale of Two Brothers Papyrus
Kisah Papirus Dua Bersaudara
Unknown Artist (Public Domain)

Struktur narasi dan kadang elemen alur dalam karya prosa Kerajaan Baru juga sering ditemukan mirip dengan berbagai karya pada masa setelahnya. Dalam cerita Kebenaran dan Kepalsuan (Truth and Falsehood, juga sering dikenal dengan judul The Blinding of Truth by Falsehood atau Kebenaran Yang Dibutakan Kepalsuan), karakter pangeran yang mulia (Kebenaran) dibuat buta oleh saudaranya yang jahat (Kepalsuan) sebelum akhirnya dibuang dan direbut tahtanya. Dalam pengasingannya, si pangeran bertemu dengan seorang wanita yang jatuh cinta kepadanya dan melahirkan seorang putra. Setelah mengetahui identitas kebangsawanan sang ayah yang sejati, si anak bakal membalas dendam dan merebut kembali hak-lahirnya dari pamannya yang jahat. Meski dengan sedikit atau banyak modifikasi, alur cerita seperti ini sering muncul dalam beragam cerita dari berbagai masa pasca Kerajaan Baru. Bahkan alur-dasar dalam genre petualangan dari berbagai masa bisa dikatakan sangat menyerupai bentuk alur dalam karya Kerajaan Baru yang dikenal dengan judul Laporan Si Wenamun (The Report of Wenamun). Teks ini menuturkan seorang pejabat bernama Wenamun yang mendapat titah menjalankan misi sederhana, mencari atau mengumpulkan kayu untuk sebuah proyek pembangunan. Namun dalam alur cerita yang harusnya berjalan pendek dan sederhana, Wenamun justru menemui beragam rintangan yang mesti dihadapi dan diselesaikan terlebih dahulu sebelum bisa menuntaskan misi dan kembali pulang.

Dua di antara karya-dongeng paling terkenal dari Kerajaan Baru adalah Pangeran Dan Tiga Kodratnya (The Prince Who Was Threatened by Three Fates, juga dikenal dengan judul The Doomed Prince atau Kutukan Sang Pangeran) serta Dua Bersaudara (The Two Brothers, juga dengan judul The Fate of an Unfaithful Wife atau Ganjaran Istri Yang Menyeleweng). Terkait karya Kutukan Sang Pangeran, teks ini merefleksikan hampir semua elemen naratif dalam genre dongeng-peri (fairy tales) Eropa yang muncul belakangan, serta memiliki berbagai kemiripan yang sangat menarik dengan cerita kebangkitan Sang Buddha: seorang putra terlahir dari pasangan bangsawan dan didatangi Tujuh Hathor (yakni peri atau dewa yang bertugas membacakan takdir bayi yang baru lahir) yang bernujum kepada raja dan ratu bahwa anak mereka akan menemui ajal melalui tiga binatang – seekor buaya, ular dan anjing. Sang raja berikhtiar menyelamatkan anaknya dengan membangun kastil batu di padang pasir sebagai tempat tinggal pangeran sekaligus mencegahnya berinteraksi dengan dunia luar. Si pangeran tumbuh dewasa dengan aman dalam isolasi semacam ini sampai, pada suatu ketika, dia memanjat keluar melalui atap rumah dan untuk pertama kali menyaksikan dunia di luar lingkungan artifisialnya. Sang pangeran memberi tahu ayahnya bahwa dia bertekad untuk pergi dan memenuhi kodratnya, seburuk apapun resiko yang bisa terjadi. Dalam pengembaraan, pangeran menemui seorang putri yang terkurung dalam menara tinggi sementara banyak pelamar mencoba memenangi hati sang putri dengan cara melompat tinggi untuk menggapai teralis jendela dan menciumnya. Sang pangeran, tentu saja, berhasil melompat seraya mengalahkan pesaing lain serta wajib menjalani ujian lain sebelum memenangi restu dari ayah sang putri. Keduanya akhirnya menikah dan pangeran juga bertemu dengan tiga takdirnya – buaya, ular dan anjing – namun berhasil mengalahkan semuanya. Tidak ditemukan bagian akhir (ending) dari dongeng ini, namun bisa ditarik simpulan berdasar struktur-narasi bahwa pangeran dan putri bakal hidup bahagia selamanya.

Karya Dua Bersaudara bertutur tentang dua kakak-adik dewa Anubis dan Bata yang tinggal serumah dengan istri Anubis. Sang istri jatuh hati pada si adik dan mencoba menggodanya ketika Bata baru pulang dari ladang. Namun Bata berteguh hati seraya berjanji untuk merahasiakan peristiwa tersebut sebelum memutuskan pergi dari rumah. Ketika Anubis pulang, dia mendapati istrinya bermuka masam dan, karena sang istri takut Bata tidak memegang janji, dia mengadu pada Anubis dengan memfitnah Bata berusaha menggodanya. Anubis yang gelap mata menyusun rencana untuk membunuh adiknya, namun Bata mendapat peringatan dari para dewa dan berhasil meloloskan diri. Anubis akhirnya menyadari duduk perkara penyelewengan istrinya – yang juga terus menimbulkan masalah bagi pasangan ini – dan wajib melakukan penebusan dosa sebelum kakak-adik ini bisa berkumpul kembali serta memberikan ganjaran setimpal bagi sang istri.

Dari periode yang sama juga muncul teks yang dikenal dalam judul Pertikaian Horus dan Set (The Contendings of Horus and Set), sekalipun (tema) cerita yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum Kerajaan Baru. Naskah ini berisi kisah keilahian seperti (teks) Kerajaan Tengah tentang motif rampak lawan sengkarut. Horus (representasi rampak) mengalahkan pamannya Set (simbol sengkarut) untuk membalas dendam ayahnya Osiris sekaligus mengambil hak atas tahta yang direbut sang paman. Namun sebelum Pangeran Horus bisa melunaskan kewajiban dendam atas perkara pembunuhan ayahnya oleh sang paman, dia juga wajib memenuhi beberapa ujian untuk membuktikan kelayakan dirinya atas tahta terlebih dahulu. Alur ini menyatakan paradigma dasar yang disebut pakar Joseph Campbell dengan istilah “kelana sang pahlawan” (“the hero's journey”) dan bisa dijumpai dalam berbagai cerita mitos dari seluruh penjuru dunia di sepanjang guliran sejarah. Popularitas lintas-generasi yang diperoleh serial film Star Wars karya George Lucas sebagian juga dikarenakan kedekatan film-film tersebut dengan format dan simbolisme dalam genre kisah Horus dan Set.

Meski kemungkinan besar tidak atau belum dibaca oleh banyak pengarang sesudahnya, teks Pertikaian Horus dan Set bisa menjadi alur-semang atau pendahulu dari dua karya yang paling dinikmati dan populer dalam kesusatraan Barat: Hamlet dan Cinderella. Pengarang berkebangsaan Amerika, Kurt Vonnegut, juga menengarai bahwa kedua cerita tersebut telah berkali-kali dimaknai ulang (dalam berbagai versi) dan banyak yang berhasil mencapai kesuksesan atau popularitas tinggi. (Tema) cerita mereka yang tersingkir dan berhasil memperjuangkan kembali haknya, meski kadang melalui pengorbanan yang besar, masih bergaung pada pembaca masa kini persis seperti teks Pertikaian Horus dan Set pada kalangan pembaca Mesir kuno.

Book of the Dead Papyrus
Buku Papirus Mati
Mark Cartwright (CC BY-NC-SA)

Barangkali, naskah Kerajaan Baru yang paling dikenal banyak orang adalah Kitab Penampakan jelang Siang (The Book of Coming Forth by Day) atau yang lebih biasa diacu dengan judul Buku Arwah Bangsa Mesir (The Egyptian Book of the Dead). Sekalipun konsep isi dan mantra (spells) yang tertuang dalam Buku Arwah berasal dari Periode Dinasti Awal dan baru muncul sebagai teks pada masa Kerajaan Tengah, karya tersebut menjadi teramat populer pada jaman Kerajaan Baru. Buku Arwah juga merupakan naskah yang paling lengkap dari seluruh teks pada jaman tersebut yang bisa kita jumpai hingga saat ini. Teks ini berisi serangkaian “mantra” yang sebenarnya difungsikan sebagai petunjuk bagi para arwah atau almarhum guna menuntun perjalanan mereka menghadapi beragam rintangan dan mencapai kedamaian abadi di akherat. Buku Arwah Bangsa Mesir sama sekali bukan seperti “Injil bagi bangsa Mesir kuno” sebagaimana dimaktub beberapa pihak, juga sama sekali tidak menyatakan “teks mantra yang bersifat magis”. Dikarenakan bangsa Mesir jelas-jelas memaknai akherat sebagai alam yang tak-terpindai, Buku Arwah karenanya lebih berfungsi laiknya 'peta-roh (soul's map)' bagi para almarhum untuk memandu dan melindungi mereka di alam arwah.

Jika tidak dikarenakan kenyataan banyaknya naskah yang hilang serta bahasa yang terlupakan selama berabad-abad, [secara filologis] bisa dikatakan bahwa kesusatraan Mesir kuno bakal menjadi pesaing berat bagi banyak teks yang dianggap sebagai cikal-bakal dari karya setelahnya. Gagasan rasional terbaik adalah para penulis bangsa Ibrani yang mencatatkan kisah-kisah Injili mungkin telah mengenal atau mengetahui beberapa versi dari teks Mesir kuno dan mengambil beberapa alur serta motif dari teks tersebut – namun, tentu saja, gagasan ini tidak lebih dari sekedar spekulasi. Berbagai kebudayaan juga mencapai simpulan yang sama sekalipun tanpa bukti kontak peradaban yang jelas: berulang kali di sepanjang sejarah muncul kemiripan yang amat kuat seperti contoh terbaik pada bentuk piramid bangsa Maya, Mesir dan Cina. Karenanya, bisa sangat mungkin dikatakan bahwa teks Mesir kuno menginspirasi, atau setidaknya meminjami, beberapa aspek-naratif pada kisah-kisah Injili yang pada gilirannya, berbagai kisah Injili ini bakal balik memberi inspirasi pada banyak pengarang terkemudian. Akan tetapi juga sama mungkinnya untuk mengatakan bahwa tema pahlawan yang mengalahkan kekuatan jahat dan kekacauan pada hematnya telah sejak lama bergaung pada sisi kemanusiaan yang terdalam. Oleh karena itu, keberadaan teks semang (pertama atau asli) sebagai inspirasi mungkin juga tidak dibutuhkan para pengarang yang datang belakangan.

Pasca masa Kerajaan Baru adalah serangkaian era yang disebut Periode Pertengahan Ketiga (Third Intermediate Period, sekitar 1069-525 SM), Periode Akhir (Late Period, 525-323 SM), dan Dinasti Ptolemi (Ptolemaic Dynasty, 323-30 SM) sebelum akhirnya Mesir dianeksasi bangsa Romawi. Pada sekitar abad ke-4 Masehi, agama Kristen menjadi kekuatan dominan dan kalangan Mesir Kristen (dikenal dengan sebutan kaum Kopti) banyak menggunakan sistem penulisan khas dengan menggabungkan aksara demotik Mesir dan Yunani hingga aksara tua seperti pahatan hiroglif dan tulisan hiratik menjadi terlupakan. Pahatan hiroglif pada berbagai monumen dan kuil, termasuk semua naskah dalam banyak perpustakaan dan Wisma Kehidupan, menjadi tidak termaknai hingga penemuan Batu Rosetta (1798 Masehi) serta keberhasilan upaya pecah-sandi (deciphering) oleh Jean-Francois Champollion pada 1824 Masehi untuk memaknai aksara hiroglif dalam batu tersebut. Namun bertepatan dengan saat Champollion berhasil membuka misteri teks kuno tersebut, sebuah semesta kesastraan juga telah tercipta sebelumnya, sekalipun tanpa terpengaruh karya-karya Mesir kuno. Uniknya, beragam bentuk alur dalam prosa dan puisi dari dunia yang sempat terlupakan ini justru kembali muncul atau menyatakan kemiripan dengan berbagai karya sastra dari seluruh penjuru dunia: sebuah kesaksian mutlak (testament) atas keaslian dan kekuatan alami dari tema-tema tersebut yang telah menyentuh dan bergaung dalam aspek paling mendasar dari pengalaman berkehidupan seluruh umat manusia.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Tentang Penerjemah

Mochamad Nasrul Chotib
Mochamad Nasrul Chotib adalah lulusan Program Magister bidang Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Saat ini berprofesi sebagai dosen tetap pada Universitas Negeri Malang.

Tentang Penulis

Joshua J. Mark
Seorang penulis lepas dan mantan Professor paruh waktu Filsafat di Marist College, New York, Joshua J. Mark pernah tinggal di Yunani, Jerman dan melancong ke Mesir. Ia mengajar sejarah, menulis, sastra dan filsafat pada level perguruan tinggi.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Mark, J. J. (2016, November 14). Kesusatraan Mesir Kuno [Ancient Egyptian Literature]. (M. N. Chotib, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/1-15437/kesusatraan-mesir-kuno/

Gaya Chicago

Mark, Joshua J.. "Kesusatraan Mesir Kuno." Diterjemahkan oleh Mochamad Nasrul Chotib. World History Encyclopedia. Terakhir diubah November 14, 2016. https://www.worldhistory.org/trans/id/1-15437/kesusatraan-mesir-kuno/.

Gaya MLA

Mark, Joshua J.. "Kesusatraan Mesir Kuno." Diterjemahkan oleh Mochamad Nasrul Chotib. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 14 Nov 2016. Web. 22 Apr 2024.