Khotbah di Bukit dalam Injil Matius (pasal 5, 6, dan 7) menjadi elemen dasar agama Kristen. Khotbah tersebut didasarkan pada tradisi Yudaisme dan Hukum Musa, tetapi dengan tambahan penafsiran tentang ajaran Yesus dari Nazaret. Matius menempatkannya di awal pelayanan Yesus, dan tema-temanya berlanjut di sepanjang Injil.
Latar Belakang Injil Matius
Layaknya injil lainnya, tidak ada tanggal-tanggal yang tertulis secara spesifik dalam kitab Matius. Bapa-bapa Gereja dari abad ke-2 menempatkan Matius sebagai kitab Injil pertama dalam Perjanjian Baru, namun kita tahu bahwa kitab Markus adalah yang paling awal ditulis, sekitar 70 M atau setelahnya. Kitab Matius (sekitar 85 M) dan Lukas (sekitar 95 M) mengandung cerita yang hampir verbatim dari kitab Markus, sehingga tercapailah kesepakatan bahwa kedua kitab tersebut merupakan salinan tertulis dari kitab Markus. Khotbah ini tidak terdapat dalam Injil Markus. Para cendekiawan menyimpulkan bahwa Matius dan Lukas memiliki sumber tambahan mengenai Yesus di luar Markus, yang dikenal sebagai sumber “Q”. Kitab ini tidak bertahan secara independen namun dinamai “Q” yang berasal dari bahasa Jerman Quelle (“sumber”) karena para cendekiawan Alkitab Jerman merupakan orang-orang pertama yang mengelompokkan ajaran-ajaran tambahan ini. Kitab Lukas memiliki versi yang serupa, yakni Khotbah di Tempat Datar.
Matius dikenal berasal dari Galilea. Hal ini terambil dari beberapa faktor, salah satunya adalah, injil berakhir dengan Yesus yang bangkit yang memerintahkan para murid untuk pergi ke Galilea dan menemui-Nya di sana. Ia kemudian muncul dan mengutus mereka untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya", yakni orang-orang bukan Yahudi (Matius 28:19).
Ketika orang-orang Romawi menghancurkan Yerusalem dan kompleks Bait Suci pada 70 M, beberapa orang Yahudi, termasuk di antaranya beberapa orang Farisi, selamat dengan melarikan diri dari kota dan membangun sekolah-sekolah formal untuk mempelajari kitab-kitab mereka, karena kurban dan peribadatan dalam Bait Suci sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Beberapa sekolah ini terletak di Galilea dan berpusat pada sinagoga-sinagoga. Inilah yang dikenal sebagai awal dari apa yang disebut Yudaisme Rabinik pada abad-abad berikutnya.
Melalui Injil Matius, kebencian terhadap orang Yahudi meningkat. Yesus secara konsisten mengajarkan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilakukan orang Yahudi dalam sinagoga mereka. Kita memiliki gambaran bahwa orang Kristen mungkin keluar dari sinagoga-sinagoga tersebut dan mendirikan versi mereka sendiri, yang menjadi gereja mula-mula.
Umat Kristiani mengklaim bahwa Yesus adalah mesias yang dinubuatkan oleh para nabi di hari-hari terakhir. Tuhan akan mendirikan kerajaan-Nya di bumi. Namun seiring berjalannya waktu, kerajaan itu tidak terwujud. Kekristenan awal merasionalisasi hal ini dengan konsep parousia, atau kedatangan kedua. Bangkit dan naik ke surga, di masa depan, Yesus akan kembali dan memenuhi apa yang dinubuatkan para nabi. Secara keseluruhan, tujuan dari Khotbah di Bukit adalah:
- menyatakan bahwa umat Kristiani memiliki pemahaman yang tepat mengenai Hukum Musa, berbeda dengan umat Yahudi
- mengajarkan umat percaya cara hidup di masa transisi sembari menunggu kedatangan Yesus
‘Musa Baru’ Matius
Ketika Musa menyampaikan pidato perpisahannya kepada orang Israel, ia berkata bahwa di masa depan, “seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan” (Ulangan 18:15). Penggambaran Matius menunjukkan Yesus sebagai ‘Musa yang baru’ dengan mensejajarkan tradisi-tradisi Musa dalam cerita dalam Keluaran pada kelahiran Yesus. Secara struktur, Injil memiliki lima bagian pengajaran; torah berarti “pengajaran” (pengajaran Musa), yang mencerminkan tradisi bahwa terdapat lima buku Kitab Suci yang ditulis oleh Musa.
Khotbah di Bukit dalam Matius disajikan sebagai bagian pengajaran utama. Khotbahnya tersendiri terbagi menjadi lima bagian:
- wacana tentang pemuridan
- wacana tentang perumpamaan
- wacana tentang komunitas orang beriman
- wacana tentang kejadian masa depan
- kesimpulan akhir dari makna khotbah tersebut
Menempatkan khotbah tersebut di puncak bukit merupakan simbol Musa di Gunung Sinai. Khotbah tersebut masih dikenal sebagai beberapa ajaran Yesus yang paling terkenal.
Ucapan Bahagia
Pembukaan Khotbah di Bukit dikategorikan sebagai “Ucapan Bahagia” yang diambil dari terjemahan Latin Alkitab Vulgata untuk kata-kata pertama khotbah tersebut: Beate (“Berbahagialah…”)
Ketika Yesus melihat orang banyak, naiklah Ia ke atas bukit, dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”
(Matius 5:1-11)
Ucapan Bahagia bukanlah inovasi Kristiani. Kita menemukan elemen-elemen yang sama dalam himne-himne dan pujian-pujian kepada Tuhan dalam Alkitab Ibrani. Kata-kata serupa ditemukan dalam Naskah Laut Mati (4Q525) sekte Yahudi Eseni (sekitar 150 SM – 68 M).
Bagian “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” melanjutkan klaim bahwa orang Yahudi menganiaya umat Kristen yang dimulai dengan pencobaan dan penyaliban Yesus dari Nazaret. Pada akhirnya, hal tersebut mengacu kepada persekusi orang Romawi terhadap umat Kristiani mendekati akhir abad 1 SM.
Hukum Taurat & Para Nabi
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari huum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”
(Matius 5:17-20)
“Untuk menggenapi” adalah slogan Matius yang menyatakan bahwa meskipun Kerajaan itu tertunda, semua yang dilakukan dalam pelayanan sesungguhnya mengikuti nubuatan para nabi: kebangkitan seorang mesias, penyertaan orang percaya Yahudi dan bukan Yahudi, dan konsep penghakiman terakhir.
Antitesis Khotbah di Bukit
Khotbah di Bukit terdiri dari antitesis dalam struktur argumen dalam Injil Matius. Setiap bagian dimulai dengan “Kamu telah mendengar yang difirmankan…”, yang mengacu kepada apa yang tertulis dalam Hukum Musa. Kemudian, bagian ini diikuti dengan “Tetapi Aku berkata kepadamu…”, yang menyoroti pemahaman yang benar dan tepat mengenai perintah Allah.
Amarah
Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.
(Matius 5:21-26)
Di sini, penjara merupakan analogi neraka, Gehenna, tempat orang mati.
Perzinaan
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
(Matius 5:27-30)
Perceraian
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
(Matius 5:31-32)
Musa mengizinkan perceraian. Masalah dalam komunitas Kristen awal bukanlah perceraian itu sendiri, tetapi pernikahan ulang bagi mereka yang bercerai, janda, dan duda pada masa sebelum kedatangan Kristus kembali.
Pembalasan
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.
(Matius 5:38-42)
Bagian ini merupakan salah satu bagian yang paling banyak disalahpahami. Dalam tradisi Kristiani, hal ini disebut lex talionis, hukum pembalasan. Namun hal ini tidak dimaknai secara literal. Hukum tersebut terkait dengan aturan pembatasan ganti rugi: “Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya” (Imamat 24:19-20). Jika Anda dirugikan oleh seseorang, jumlah ganti rugi tidak boleh melebihi nilai kerusakan yang Anda alami. Dengan kata lain, jika Anda kehilangan mata, Anda tidak dapat membalas dengan memenggal kepala seseorang.
“Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu…” juga tidak bermakna literal. Dalam konteksnya, khotbah tersebut menentang upaya mencari kompensasi atas kerusakan, atau dengan kata lain, sebuah cara untuk mengatakan “berhentilah menuntut satu sama lain”. Di Kerajaan Romawi, orang-orang terlibat dan terobsesi dengan tuntutan hukum. Paulus menegur orang-orang percaya di Korintus mengenai masalah yang sama. Pemahaman umumnya dalam Matius adalah bahwa ketika Yesus kembali dari surga, Kerajaan Allah akan menjadi nyata. Pada saat itu, Allah akan memperbaiki semua ketidakadilan yang dirasakan dan memberikan hukuman yang sesuai bagi mereka yang telah menyebabkan kerusakan.
Di provinsi-provinsi Romawi, tentara Romawi berhak untuk memerintah penduduk setempat untuk membawakan perlengkapan mereka, dan kadang beratnya mencapai 60 pon (27 kg), tetapi mereka hanya dapat melakukannya sejauh satu mil. Ajaran tersebut mengajarkan untuk “melakukan lebih” dan jangan mengeluh. Sekali lagi, semua ini akan diselesaikan dalam Kerajaan Allah.
Mengasihi Musuh
Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga…
(Matius 5:43-45)
Bagian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Suci Yahudi namun merangkum perbandingan Matius tentang relasi-relasi dalam masyarakat.
"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Matius 5:46-48)
Sedekah, Doa, dan Puasa
Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya padamu. Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.
(Matius 6:1-8)
Penting untuk menunjukkan bahwa kita tidak memiliki bukti kontemporer mengenai polemik Matius terhadap orang-orang Yahudi mengenai praktik dan perilaku mereka. Namun, pengaruh khotbah tersebut tetap ada, dalam definisi Merriam-Webster untuk kata “pharisaical”, yang berarti “bersifat munafik” atau “ditandai dengan sikap menghakimi yang munafik”.
Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari makanan kami yang secukupnya, dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. … Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.
(Matius 6:9-15)
Kita tidak dapat menentukan sumber doa tersebut, namun doa tersebut mencerminkan gagasan yang serupa dalam amidah Bait Suci dan liturgi sinagoga. Dalam bahasa Ibrani, amidah berarti “berdiri”, penghormatan dalam memuji Tuhan. Para Rabi kemudian mengkodifikasikannya untuk melanjutkannya tiga kali sehari, dibacakan di Bait Suci dan tetap menjadi pusat ajaran Yudaisme. Mengakui Tuhan sebagai pencipta alam semesta, doa tersebut mencerminkan harapan bahwa Kerajaan-Nya akan terwujud dengan keadilan bagi semua orang. Dikenal sebagai Doa Bapa Kami, doa tersebut tetap menjadi doa yang merangkum Kekristenan.
Nasihat lainnya antara lain tidak mengenakan kain kabung dan abu serta tidak menunjukkan betapa Anda menderita saat berpuasa, namun berpuasa secara rahasia dan tidak khawatir akan makanan yang dimakan atau pakaian yang dikenakan setiap hari. Tuhan mengetahui niat Anda dan akan memberi Anda berkat, dan Tuhan mengetahui kebutuhan Anda, dan jika Anda saleh, Ia pada akhirnya akan menyediakannya. “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”; hal ini merupakan hak prerogatif Tuhan dan akan diurus pada hari penghakiman (Matius 7:1).
Kerajaan Sorga
Frasa favorit Matius untuk keselamatan sejati adalah “Kerajaan Sorga”. Hal ini merujuk pada rencana awal Tuhan untuk manusia di Taman Eden. Matius tidak menghilangkan Hukum Musa; ia menekankan bahwa hukum Taurat melampaui perbuatan – tak hanya mengecam pembunuhan, namun juga pikiran akan pembunuhan; tak hanya melarang perzinahan, namun juga pikiran dan hasrat seksual jasmani. Ia merangkum tujuan dari khotbah tersebut: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (5:48). Dengan kata lain, “Kerajaan Sorga” dapat dialami secara proleptik: dengan antisipasi dan dengan mengejar kesempurnaan pada masa penantian dalam masyarakat. Umat Kristiani kemudian menganggap khotbah tersebut sebagai rasionalisasi bahwa Kerajaan tersebut mungkin bermanifestasi di bumi melalui Gereja.
Dalam teologi Kekristenan, Khotbah di Bukit menjadi dasar yang mengklaim bahwa Yesus menolak hukum Musa, dan maka dari itu juga, menolak seluruh ajaran Yudaisme melalui penafsiran ulang tentang Musa. Penafsiran Matius mengenai Kitab Suci Yahudi merupakan bagian dari pemisahan Kekristenan dengan Yudaisme, tetapi dicantumkannya perkataan dan perbuatan yang terdapat dalam perintah-perintah Allah pasti disetujui oleh banyak orang Yahudi. Di saat yang bersamaan, para ahli sejarah menunjukkan bahwa kesempurnaan ideal yang didorong oleh khotbah tersebut masih belum termanifestasi dalam keduniawian yang telah menumbuhkan politik kuasa dan kekerasan.