Pangeran Shotoku

Penggalangan Dana Biaya Server 2024

Bantu misi kami untuk memberikan pendidikan sejarah gratis kepada dunia! Silakan berdonasi dan berkontribusi untuk menutupi biaya server kami pada tahun 2024. Dengan dukungan Anda, jutaan orang dapat belajar tentang sejarah secara gratis setiap bulannya.
$3889 / $18000

Ikhtisar

Mark Cartwright
dengan , diterjemahkan dengan Syifa Aulia
diterbitkan pada 08 Juni 2017
Tersedia dalam bahasa lain: Bahasa Inggris, Bahasa Prancis
X
Prince Shotoku Painting (by Unknown Artist, Public Domain)
Lukisan Pangeran Shotoku
Unknown Artist (Public Domain)

Pangeran Shotoku (574-622 M) memerintah sebagai bupati Jepang dari tahun 594 hingga 622 M dan merupakan salah satu tokoh yang paling dihormati dalam seluruh sejarah Jepang. Pangeran tersebut adalah seorang pendukung besar budaya Tiongkok dan Buddhisme, menyebarkan kedua hal itu selama masa pemerintahannya dengan mendorong hubungan yg lebih erat dengan Tiongkok, mengenalkan prinsip-prinsip pemerintahan Tiongkok, menciptakan sebuah lembaga, dan membangun banyak kuil di seluruh Jepang yang mencakup situs-situs terkenal seperti Shitennoji dan Horyuji.

Pengangkatan Shotoku

Sang pangeran, yang juga dikenal sebagai Umayado no Miko dan secara anumerta sebagai Shotoku Taisha (yang berarti 'Pangeran Kebajikan Agung'), lahir pada tahun 574 M, anak kedua dari Kaisar Yomei (memerintah 585-587 M) dan cucu dari Kaisar Kimmei (539-571 M). Sang pangeran juga memiliki hubungan dengan klan Soga yang berkuasa, yang mendominasi politik Jepang pada masa itu. Memang, pemimpin klan Soga, Soga no Umako, yang merencanakan pembunuhan Kaisar Sushun (memerintah 587 M-592 M), mengalahkan aliansi klan Nakatomi dan Mononobe, dan menempatkan keponakannya sendiri, Suiko, yang merupakan janda Kaisar Bidatsu (memerintah 572-585 M), di atas takhta. Kemudian, Umako memilih Shotoku untuk memerintah sebagai pemangku takhta atas nama bibinya. Alasan yang tepat mengapa Umako memilih pangeran mahkota muda untuk memerintah pada tahun 594 M tidak diketahui; namun, kita dapat menduga bahwa dia mengakui bakatnya dan, dengan dukungannya terhadap Buddhisme serta adat Tionghoa, berpikir bahwa dia mungkin dapat menjadi sekutu yang sangat berguna bagi kepentingan Soga. Ternyata, Umako tetap berada dalam bayang-bayang politik dan Shotoku menjadi cahaya terang bagi Jepang yang baru, seorang pria yang memerintah hingga kematiannya pada tahun 622 M, akan menjadi legenda dalam hidupnya sendiri dan menjadi orang suci setelahnya.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Pemerintahan Shotoku

Shotoku diakui karena berbagai keajaiban kecil dan memiliki kemampuan fantastis sejak lahir, memberikan audiensi kepada sepuluh orang secara bersamaan, atau bahkan memberikan ceramah yang begitu menyentuh sehingga bunga teratai turun dari Surga, namun pencapaian yang lebih nyata adalah reformasi pemerintahannya. Pada tahun 604 M, Shotoku memperkenalkan sistem 'peringkat topi' Tiongkok untuk pejabat negara dengan 12 tingkatan, masing-masing ditandai dengan warna topi pejabat tersebut. Pangeran juga menghapus hak untuk memungut pajak oleh siapa pun selain kaisar, memberantas korupsi, dan mengurangi sistem pejabat yang mendapatkan jabatan hanya melalui warisan. Ia memperkenalkan kalender ala Tiongkok dan dalam rangka mendorong hubungan yang lebih erat dengan Tiongkok, yang dianggap sebagai bangsa besar yang beradab di kawasan tersebut, mengirimkan duta besar resmi ke pengadilan Sui sejak sekitar tahun 607 M dan kemudian sepanjang abad ke-7 M.

SELAIN MEMPROMOSIKAN BUDDHISME, KONSTITUSI TUJUH BELAS PASAL SHOTOKU MEREFORMASI DAN MEMUSATKAN PEMERINTAHaN.

Konstitusi Tujuh Belas Pasal

Shotoku terkenal diyakini sebagai penyusun konstitusi baru (atau, mungkin lebih tepatnya, kode etik) pada tahun 604 M, yang disebut Konstitusi Tujuh Belas Pasal atau Tujuh Belas Perintah (Jushichijo-kenpo). Mungkin saja konstitusi ini sebenarnya tidak ditulis oleh Shotoku, tetapi terinspirasi olehnya dan disusun sebagai penghormatan setelah kematiannya. Poin-poin yang dibuat berupaya untuk membenarkan sentralisasi pemerintahan dan menekankan prinsip-prinsip Buddha dan Konfusianisme, terutama pentingnya harmoni (wa).

Sisihkan pariwara
Advertensi

Konstitusi tersebut secara terang-terangan merupakan promosi status quo dan kekuasaan serta kewibawaan kaisar, yang diyakini Shotoku, layaknya hukum alam, tidak boleh dan tidak dapat diganggu gugat:

Ketika Anda menerima perintah Kaisar, jangan lalai untuk mematuhinya dengan saksama. Tuan adalah langit, bawahan adalah bumi. Langit membentang luas, dan bumi menopangnya. Ketika ini terjadi, empat musim berjalan sesuai waktunya, dan kekuatan alam berfungsi dengan baik. Jika bumi mencoba membentang luas, langit akan runtuh. Oleh karena itu, ketika tuan berbicara, pengikut mendengarkan; ketika atasan bertindak, bawahan menurut. Dengan demikian, ketika Anda menerima perintah Kaisar, jangan lalai untuk melaksanakannya dengan saksama. Kelalaian dalam hal ini akan berakibat fatal (Pasal III, Henshall, 499).

Prince Shotoku Statue
Patung Pangeran Shotoku
PHGCOM (CC BY-SA)

Menteri mungkin memiliki legitimasi alami, bahkan ilahi atas otoritas mereka, tetapi menurut Shotoku, mereka juga terikat oleh pertimbangan moral dan etika tertentu:

Sisihkan pariwara
Advertensi

Para menteri dan pejabat harus menjadikan perilaku sopan santun sebagai prinsip utama mereka (Pasal IV, ibid).

Hindari kerakusan dan tinggalkan keinginan serakah, tangani dengan adil perkara yang diajukan kepada Anda (Pasal V, ibid).

Para menteri dan pejabat harus menghadiri Sidang Pengadilan pada pagi hari dan pulang larut malam (Pasal VIII, Henshall, 500).

Tidak banyak isi dari tujuh belas poin tersebut yang dijalankan pada masa pemerintahan Shotoku, namun, hal itu tentu memiliki pengaruh yang langgeng terhadap politik Jepang di kemudian hari, misalnya, pada pasal VIII yang dikutip di bawah ini dan penekanannya pada pentingnya pengambilan keputusan secara kolektif:

Keputusan mengenai masalah penting tidak boleh dibuat oleh satu orang saja. Keputusan tersebut harus didiskusikan dengan banyak orang. Namun, untuk masalah-masalah kecil, keputusannya tidak terlalu penting. Tidak perlu berkonsultasi dengan banyak orang. Hanya dalam hal pembahasan urusan penting, ketika ada kecurigaan bahwa urusan tersebut dapat gagal, maka seseorang harus mengatur masalah tersebut bersama-sama dengan orang lain, untuk mencapai kesimpulan yang tepat. (Pasal XVII, Henshall, 502)

Mendukung Buddhisme

Buddhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 M, secara tradisional dipercaya pada tahun 552 M. Agama tersebut secara resmi dianut oleh Kaisar Yomei dan selanjutnya dipromosikan oleh Pangeran Shotoku, yang menekankan penghormatan terhadap Buddhisme dalam Pasal II konstitusinya:

Dengan sepenuh hati hormatilah Tiga Harta. Ketiga Harta tersebut, yaitu Sang Buddha, Dharma, dan Sangha, adalah tempat berlindung terakhir bagi semua makhluk hidup, dan merupakan objek tertinggi dari keyakinan di seluruh negeri. Manusia mana di era apa pun yang dapat gagal menghormati ajaran ini? Hanya sedikit orang yang pada dasarnya jahat. Mereka dapat diajarkan untuk mengikuti ajaran ini. Tetapi jika mereka tidak berlindung kepada Tiga Harta, bagaimana mungkin jalan mereka yang bengkok dapat diluruskan? (Henshall, 499)

Sesuai dengan pernyataannya sendiri, Shotoku membangun banyak kuil dan biara, membentuk sekelompok seniman untuk menciptakan gambar Buddha, dan dia sendiri adalah seorang murid dari ajarannya, menulis komentar tentang tiga sutra. Buddhisme umumnya disambut baik oleh elit Jepang (kecuali penolakan awal dari klan pro-Shinto Mononobe dan Nakatomi) karena membantu meningkatkan status budaya Jepang sebagai negara maju di mata tetangga mereka yang kuat, Korea dan Tiongkok, dan membantu melegitimasi kaisar sebagai pusat lingkaran politik dan agama Jepang, juga meningkatkan prestisenya.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Prince Shotoku as a Youth
Pangeran Shotoku sebagai Pemuda
Leonieke Aalders (CC BY-NC-ND)

Selama pemerintahan Shotoku, 46 biara dan kuil Buddha dibangun. Yang terpenting di antaranya adalah Shitennoji (dibangun pada tahun 593 M untuk memperingati perolehan kekuasaan klan Soga), Hokoji (596 M), dan Horyuji. Horyuji selesai dibangun pada tahun 607 M tetapi terbakar sekitar tahun 670 M, kemudian dibangun kembali. Horyuji adalah satu-satunya biara yang masih ada dari Periode Asuka dalam kondisi aslinya. Kompleks bangunan ini terdiri dari 48 bangunan terdaftar, termasuk pagoda 5 tingkat, memiliki bangunan kayu tertua di Jepang dan beberapa potret mendiang pangeran.

Kematian dan Warisan

Nihon Shoki (720 M), yang juga dikenal sebagai Nihongi, sebuah "Kronik Jepang", menceritakan tentang kesedihan rakyat setelah kematian Pangeran Shotoku:

Para pangeran dan bangsawan, dan bahkan seluruh penduduk kerajaan begitu berduka cita sehingga jalanan dipenuhi dengan suara ratapan mereka. Orang tua menangis seperti meratapi kematian anak yang mereka sayangi, dan makanan di mulut mereka pun terasa hambar. Yang muda seperti kehilangan orang tua tercinta. Petani yang sedang menggarap sawahnya menjatuhkan bajaknya, dan perempuan yang menumbuk padi meletakkan alu mereka. Mereka semua berkata: "Matahari dan bulan telah kehilangan sinarnya; langit dan bumi pasti akan segera runtuh - sejak saat ini, kepada siapa kita akan percaya?" (Keene, 70)

Permaisuri Suiko memerintah sendiri sejak tahun 622 M, dan putra Shotoku, melanjutkan pekerjaan ayahnya dalam menyebarkan agama Buddha, terutama dengan mendirikan kuil Hōki-ji di Nara. Kontribusi Shotoku yang langgeng terhadap perkembangan pemerintahan di Jepang dan kemajuan menuju negara terpusat, berbeda dengan sistem sebelumnya di mana klan-klan yang bersaing tunduk pada kekuatan militer kaisar, dirangkum oleh sejarawan W. G. Beasley sebagai berikut:

Sisihkan pariwara
Advertensi

...apa yang dia lakukan memiliki arti penting dalam dua hal. Dia menetapkan aspirasi yang pada akhirnya menjadi ortodoks dalam politik istana Jepang; dan dengan mengirimkan pelajar ke Tiongkok, dia memungkinkan para penerusnya untuk melanjutkan berdasarkan pemahaman yang jauh lebih mendalam tentang pemerintahan Tiongkok. (22)

Sebuah sekte dengan cepat berkembang untuk menghormati kontribusi Shotoku dalam menyebarkan popularitas agama Buddha di Jepang. Selain itu, karena reputasinya sebagai pelindung pemerintahan yang baik, ia dianggap oleh banyak orang sebagai sosok suci, bahkan sebagai titisan Buddha, terutama selama Periode Kamakura (1185-1333 M) ketika banyak sekali potret dirinya saat masih anak-anak dan dewasa dibuat dalam bentuk lukisan dan patung. Pangeran Shotoku hingga saat ini masih dihormati sebagai salah satu bapak pendiri peradaban Jepang dan salah satu pemimpin terhebat dan terbijaknya.

This content was made possible with generous support from the Great Britain Sasakawa Foundation.

Sisihkan pariwara
Advertensi

Tentang Penerjemah

Syifa Aulia
Syifa, seorang penerjemah bahasa Inggris dan mahasiswa sastra Inggris, menunjukkan minat besar dalam dunia bahasa sejak kecil, terutama bahasa Inggris. Ia merupakan pendiri Translateind, sebuah layanan penerjemahan bahasa Inggris-Indonesia.

Tentang Penulis

Mark Cartwright
Mark adalah seorang penulis, peneliti, sejarawan, dan editor. Ia memiliki minat khusus pada bidang seni, arsitektur, dan menggali gagasan-gagasan yang dibagikan oleh semua peradaban. Selain itu ia memiliki gelar pendidikan MA in Political Philosopy dan menjabat sebagai Direktur Penerbitan di World History Encyclopedia.

Kutip Karya Ini

Gaya APA

Cartwright, M. (2017, Juni 08). Pangeran Shotoku [Prince Shotoku]. (S. Aulia, Penerjemah). World History Encyclopedia. Diambil dari https://www.worldhistory.org/trans/id/1-15795/pangeran-shotoku/

Gaya Chicago

Cartwright, Mark. "Pangeran Shotoku." Diterjemahkan oleh Syifa Aulia. World History Encyclopedia. Terakhir diubah Juni 08, 2017. https://www.worldhistory.org/trans/id/1-15795/pangeran-shotoku/.

Gaya MLA

Cartwright, Mark. "Pangeran Shotoku." Diterjemahkan oleh Syifa Aulia. World History Encyclopedia. World History Encyclopedia, 08 Jun 2017. Web. 26 Jul 2024.